Aliran-Aliran Filsafat Hukum
A.Aliran Hukum Alam
Aliran hukum alam telah berkembang
sejak kurun waktu 2500 tahun yang lalu, dan muncul dalam berbagai bentuk
pemikiran. Dilihat dari sejarahnya, menurut Friedmann aliran ini timbul karena
kegagalan umat manusia dalam mencari keadilan yang absolut. Hukum alam di sini
dipandang sebagai hukum yang berlaku universal dan abadi.
Gagasan mengenai hukum alam
didasarkan pada asumsi bahwa melalui penalaran hakikat makhluk hidup akan dapat
diketahui dan pengetahuan tersebut mungkin menjadi dasar bagi tertib sosial
serta tertib hukum eksistensi manusia. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari
hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia.
Secara sederhana, menurut sumbernya
Aliran Hukum Alam dapat dibedakan dalam dua macam yakni irasional dan rasional.
Aliran Hukum Alam yang irasional berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal
dan abadi itu bersumber dari Tuhan secara langsung. Sebaliknya, Aliran Hukum
Alam yang rasional berpendapat bahwa sumber dari hukum yang universal dan abadi
itu adalah rasio manusia.
1. Hukum Alam Irasional
Beberapa pendukung Aliran Hukum Alam
irasional yang akan diuraikan pandangan-pandangannya adalah Thomas Aquinas,
John Salisbury, Dante Alighieri, Piere Dubois, Marsilius Padua, William Occam,
John Wycliffe, dan Johannes Huss.
a. Thomas Aquinas (1225-1274)
Filsafat Thomas Aquinas berkaitan
erat dengan teologia. Ia mengakui bahwa di samping kebenaran wahyu juga
terdapat kebenaran akal. Menurutnya ada pengetahuan yang tidak dapat ditembus oleh
akal, dan untuk itulah diperlukan iman.
Berbicara tentang hukum, Aquinas
mendefinisikan sebagai ketentuan akal untuk kebaikan umum yang dibuat oleh
orang yang mengurus masyarakat. Ada empat macam hukum yang diberikan Aquinas,
yaitu (1) lex aeterna (hukum rasio Tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh
pancaindera manusia), (2) lex divina (hukum rasio yang dapat ditangkap oleh
pancaindera manusia), (3) lex naturalis (hukum alam, yaitu penjelmaan lex
aeterna ke dalam rasio manusia), dan (4) lex positivis (penerapan lex naturalis
dalam kehidupan manusia di dunia).
b. John Salisbury (1115-1180)
Dalam menjalankan pemerintahannya,
penguasa wajib memperhatikan hukum tertulis dan tidak tertulis (hukum alam),
yang mencerminkan hukum-hukum Allah. Tugas rohaniwan adalah membimbing penguasa
agar tidak merugikan kepentingan rakyat, dan menurutnya bahkan penguasa itu
seharusnya menjadi abdi gereja. Menurut Salisbury, jikalau masing-masing
penduduk bekerja untuk kepentingannya sendiri, kepentingan masyarakat akan terpelihara
dengan sebaik-baiknya.
c. Dante Alighieri (1265-1321)
Dante amat menentang penyerahan
kekuasaan duniawi kepada gereja. Baginya keadilan baru dapat ditegakkan apabila
pelaksanaan hukum diserahkan kepada satu tangan saja berupa pemerintahan yang absolut.
Menurutnya, badan tertinggi yang memperoleh legitimasi dari Tuhan sebagai
monarkhi dunia ini adalah Kekaisaran Romawi.
d. Piere Dubois (lahir 1255)
Dubois mencita-citakan suatu
Kerajaan Perancis yang luas, yang menjadi pemerintah tunggal dunia. Di sini
tampak Dubois sangat meyakini adanya hukum yang dapat berlaku universal. Sama
seperti Dante, Dubois menyatakan bahwa penguasa (raja) dapat langsung menerima
kekuasaan dari Tuhan, tanpa melewati pemimpin gereja. Bahkan Dubois ingin agar
kekuasaan duniawi gereja (paus) dicabut dan diserahkan sepenuhnya kepada raja.
e. Marsilius Padua (1270-1340) dan William
Occam (1280-1317)
Padua berpendapat bahwa negara
berada di atas kekuasaan Paus. Kedaulatan tertinggi ada di tanga rakyat. Padua
juga berpendapat bahwa tujuan negara adalah untuk memajukan kemakmuran dan
member kesempatan seluas-luasnya kepada warga negara agar dapat mengembangkan
dirinya secara bebas. Bahkan, rakyat pula yang berwenang memilih
pemerintahannya. Rakyat boleh menghukum penguasa (raja) yang melanggar
undang-undang, termasuk memberhentikannya. Kekuasaan raja bukanlah kekuasaan
absolute melainkan dibatasi oleh undang-undang.
Di sisi lain, filsafat Occam sering
disebut Nominalisme. Jika Thomas Aquinas meyakini kemampuan rasio manusia untuk
mengungkapkan kebenaran, maka Occam berpendapat bahwa rasio manusia tidak dapat
memastikan suatu kebenaran. Pengetahuan (ide) yang ditangkap oleh rasio
hanyalah nama-nama (nomen, nominal) yang digunakan manusia dalam hidupnya.
f. John Wycliffe (1320-1384) dan Johannes
Huss (1369-1415)
Wycliffe mengatakan urusan negara
seharusnya tidak boleh dicampuri oleh rohaniawan karena corak pemerintahan para
rohaniawan itu adalah corak kepemimpinan yang paling buruk. Pemerintahan yang
baik adalah pemerintahan yang dipimpin para bangsawan. Menurutnya kekuasaan
ketuhanan tidak perlu perantara (rohaniawan gereja) sehingga baik para
rohaniawan maupun orang awam sama derajatnya di mata Tuhan.
Huss melengkapi pemikiran Wycliffe.
Huss mengatakan bahwa gereja tidak perlu mempunyai hak milik. Karena itu,
penguasa boleh merampas milik itu apabila gereja salah menggunakan haknya.
Menurutnya, Paus dan hierarki gereja tidak diadakan menurut perintah Tuhan.
Gereja yang sebenarnya dibentuk oleh semua orang yang beriman.
2. Hukum Alam Rasional
a. Hugo de Groot alias Grotius (1583-1645)
Hugo dikenal sebagai Bapak Hukum
Internasional karena dialah yang memperoleh konsep-konsep hukum dalam hubungan
antar negara, seperti hukum perang dan damai, serta hukum laut. Menurut Grotius,
sumber hukum adalah rasio manusia. Karena karakteristik yang membedakan manusia
dengan makhluk lain adalah kemampuan akalnya, seluruh kehidupan manusia harus
berdasarkan kemampuan akal/rasio itu.
b. Samuel von Pufendorf (1632-1694) dan
Christian Thomasius (1655-1728)
Pufendorf adalah penganjur pertama
hukum alam di Jerman. Pekerjaannya dilanjutkan Thomasius. Pudfendorf
berpendapat bahwa hukum alam adalah aturan yang berasal dari akal pikiran yang
murni. Dalam hal ini unsur naluriah manusia yang lebih berperan. Akibatnya
ketika manusia hidup bermasyarakat, timbul pertentangan kepentingan satu dengan
yang lainnya. Agar tidak terjadi pertentangan terus-menerus dibuatlah
perjanjian secara sukarela di antara rakyat. Dengan adanya perjanjian itu berarti
tidak ada kekuasaan yang absolut. Semua kekuasaan itu dibatasi oleh Tuhan,
hukum alam, kebiasaan, dan tujuan dari negara.
Sementara itu menurut Thomasius,
manusia hidup dengan bermacam-macam naluri yang bertentangan satu dengan yang
lain. Karena itu diperlukan baginya aturan-aturan yang mengikat agar ia
mendapat kepastian dalam tindakan-tindakannya, baik ke dalam maupun ke luar.
c. Immanuel Kant (1724-1804)
Filsafat Kant dikenal sebagai
filsafat kritis, merupakan sintesis dari rasionalisme dan empirisme. Kritisme
adalah filsafat yang memulai perjalannya dengan terlebih dahulu menyelidiki
kemampuan dan batas-batas rasio. Kant menyelidiki unsur-unsur mana dalam
pemikiran manusia yang berasal dari rasio (sudah ada terlebih dulu tanpa
dibantu oleh pengalaman) dan mana yang murni berasal dari empiris.
B.
Positivisme Hukum
Positivisme Hukum (Aliran Hukum
Positif) memandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara
hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das Sein dan das Sollen).
Dalam kacamata positivis, tiada hukum lain kecuali perintah penguasa. Bahkan
bagian dari Aliran Hukum Positif yang dikenal dengan nama Legisme berpendapat
lebih tegas bahwa hukum itu identik dengan undang-undang. Positivisme hukum
dibedakan dalam dua corak:
1. Aliran Hukum Positif Analitis: John Austin
(1790-1859)
Hukum adalah perintah dari penguasa
negara. Hakikat hukum sendiri menurut Austin terletak pada unsur perintah.
Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap, logis, dan tertutup. Pihak
superior yang menentukan apa yang diperbolehkan. Kekuasaan dari superior
memaksa orang lain untuk taat. Ia memberlakukan hukum dengan cara
menakut-nakuti, dan mengarahkan tingkah laku orang lain ke arah yang
diinginkannya. Hukum adalah perintah yang memaksa, yang dapat saja bijaksana
dan adil, atau sebaliknya.
2. Aliran Hukum Murni: Hans Kelsen (1881-1973)
Menurut Kelsen, hukum harus
dibersihkan dari anasir-anasir yang nonyuridis, seperti unsur sosiologis,
politis, historis, bahkan etis. Pemikiran inilah yang dikenal dengan Teori
Hukum Murni (Reine Rechtlehre) dari Kelsen. Baginya, hukum adalah suatu
keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional. Dalam
hal ini yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah “bagaimana hukum itu seharusnya“
(what the law ought to be), tetapi “apa hukumnya“ (what the law is).
Kelsen, selain dikenal sebagai
pencetus Teori Hukum Murni, juga dianggap berjasa mengembangkan Teori Jenjang
(Struffentheorie) yang semula dikemukakan Adolf Merkl (1836-1896). Teori ini
melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk
piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari norma yang lebih
tinggi. Norma yang paling tinggi disebut Grundnorm.
C.
Utilitarianisme
Utilitarianisme atau Utilisme adalah
aliran yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan di
sini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness). Jadi baik buruk atau adil
tidaknya suatu hukum bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan
kepada manusia atau tidak. Pendukung Utilitarianisme diantaranya:
1. Jeremy Bentham (1748-1832)
Bentham berpendapat bahwa alam
memberikan kebahagiaan dan kesusahan. Manusia selalu berusaha memperbanyak
kebahagiaan dan mengurangi kesusahannya. Kebaikan adalah kebahagiaan, kejahatan
adlaah kesusahan. Tugas hukum adalah memelihara kebaikan dan mencegah
kejahatan. Kepentingan individu dan masyarakat perlu diperhatikan. Untuk
menyeimbangkannya diperlukan “simpati“ dari tiap-tiap individu.
2. John Stuart Mill (1806-1873)
Pemikiran Mill banyak dipengaruhi
oleh pertimbangan psikologis. Ia menyatakan bahwa tujuan manusia adalah
kebahagiaan. Manusia berusaha memperoleh kebahagiaan itu melalui hal-hal yang
membangkitkan nafsunya. Jadi yang ingin dicapai manusia itu bukanlah benda atau
sesuatu hal tertentu, melainkan kebahagiaan yang dapat ditimbulkannya. Peran
Mill dalam ilmu hukum terletak dalam penyelidikannya mengenai hubungan antara
keadilan, kegunaan, kepentingan individu dan kepentingan umum.
3. Rudolf von Jhering (1818-1892)
Mula-mula von Jhering menganut
Mazhab Sejarah yang dipelopori von Savigny dan Puchta, tetapi lama-kelamaan ia
melepaskan diri, bahkan menentang pandangan von Savigny tentang hukum Romawi.
Menurutnya, seperti dalam hidup sebagai perkembangan biologis, senantiasa
terdapat asimilasi dari unsur-unsur yang mempengaruhinya, demikian pula halnya
dalam bidang kebudayaan karena pergaulan intensif antarbangsa terdapat
asimilasi pandangan-pandangan dan kebiasaan-kebiasaan. Lapisan tertua hukum
Romawi adalah bersifat nasional, tetapi pada tingkat-tingkat perkembangannya
yang lebih lanjut hukum itu makin mendapat ciri-ciri universal. Inilah jalan
biasa dalam suatu perkembangan suatu sistem hukum; ciri-ciri hukum lain makin
diasimilasikan dalam hukum nasional, sehingga hukum yang pada mulanya nasional
makin menjadi hukum universal.
D.
Mazhab Sejarah
Mazhab
Sejarah merupakan reaksi terhadap tiga hal:
1.Rasionalisme
Abad ke-18 yang didasarkan atas hukum alam, kekuatan akal, dan prinsip-prinsip
dasar yang semuanya berperan pada filsafat hukum.
2.Semangat
Revolusi Perancis yang menentang wewenang tradisi dengan misi kosmopolitannya
(kepercayaan pada rasio dan daya kekuatan tekad manusia untuk mengatasi
lingkungannya, yaitu seruannya ke penjuru dunia).
3.Pendapat
yang berkembang saat itu yang melarang hakim menafsirkan hukum karena
undang-undang dianggap dapat memecahkan semua masalah hukum.
Di samping itu, terdapat faktor
lain, yaitu masalah kodifikasi hukum Jerman setelah berakhirnya masa Napoleon
Bonaparte, yang diusulkan oleh Thibaut (1772-1840). Karena dipengaruhi oleh
keinginannya akan kesatuan negara, ia menyatakan keberatan terhadap hukum yang
tumbuh berdasarkan sejarah. Hukum itu sukar untuk diselidiki, sedangkan jumlah
sumbernya bertambah banyak sepanjang masa, sehingga hilanglah keseluruhan
gambaran darinya. Karena itulah harus diadakan perubahan yang tegas dengan
jalan penyusunan undang-undang dalam kitab. Tokoh-tokoh aliran ini adalah:
1.
Friedrich Karl von Savigny (1770-1861)
Menurut Savigny, hukum timbul bukan
karena perintah penguasa atau karena kebiasaan, tetapi karena perasaan keadilan
yang terletak di dalam jiwa bangsa itu. Jiwa bangsa itulah yang menjadi sumber
hukum. Pandangan Savigny ini bertentangan pula dengan Positivisme Hukum. Ia
mengingatkan bahwa untuk membangun hukum, studi terhadap sejarah suatu bangsa
mutlak diperlukan.
2.
Puchta (1798-1846)
Puchta berpendapat bahwa hukum suatu
bangsa terikat pada jiwa bangsa yang bersangkutan. Hukum tersebut menurut
Puchta dapat berbentuk (1) langsung berupa adat istiadat, (2) melalui
undang-undang, (3) melalui ilmu hukum dalam bentuk karya para ahli hukum.
Menurut Puchta, keyakinan hukum yang
hidup dalam jiwa bangsa harus disahkan melalui kehendak umum masyarakat yang
terorganisasi dalam negara. Negara mengesahkan hukum itu dengan membentuk
undang-undang. Puchta mengutamakan pembentukan hukum dalam negara sedemikian
rupa sehingga akhirnya tidak ada tempat lagi bagi sumber-sumber hukum lainnya
yakni praktek hukum dalam adat istiadat bangsa dan pengolahan ilmiah hukum oleh
ahli-ahli hukum.
3.Henry
Summer Maine (1822-1888)
Maine dianggap sebagai pelopor
Mazhab Sejarah di Inggris. Salah satu penelitiannya yang terkenal adalah
tentang studi perbandingan perkembangan lembaga-lembaga hukum yang ada pada masyarakat
sederhana dan masyarakat yang telah maju, yang dilakukannya berdasarkan
pendekatan sejarah.kesimpulan penelitian itu kembali memperkuat pemikiran von
Savigny yang membuktikan adanya evolusi pada berbagai masyarakat dalam situasi
sejarah yang sama.
E.Sociological Jurisprudence
Sociological Jurisprudence berbeda
dengan sosiologi hukum. Yang pertama, Sociological Jurisprudence adalah nama
aliran dalam filsafat hukum, sedangkan sosiologi hukum adalah cabang dari
sosiologi. Kedua, Socoilogical Jurisprudence menggunakan pendekatan hukum ke
masyarakat, sedangkan sosiologi hukum memilih pendekatan dari masyarakat ke
hukum.
Menurut aliran Sociological
Jurisprudence ini, hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang
hidup di masyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif
dan hukum yang hidup di masyarakat (the living law). Tokoh-tokoh aliran ini
diantaranya:
1.ugen
Ehrlich (1862-1922)
Ehrlich dapat dianggap sebagai
pelopor aliran Sociological Jurisprudence. Ehrlich melihat ada perbedaan antara
hukum positif disatu pihak dengan hukum yang hidup di masyarakat dilain pihak.
Menurutnya, hukum baru akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila
berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat tadi. Pandangan
ini jelas berbeda dengan Positivisme Hukum.
Bagi Ehrlich, tertib sosial
didasarkan pada fakta diterimanya hukum yang didasarkan pada aturan dan norma
sosial yang tercermin dalam sistem hukum. Ehrlich beranggapan bahwa mereka yang
berperan sebagai pihak yang mengembangkan sistem hukum harus mempunyai hubungan
yang erat dengan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat bersangkutan.
Kesadaran itu harus ada dalam setiap diri profesi hukum yang bertugas
mengembangakn hukum yang hidup dan menentukan ruang lingkup hukum positif dalam
hubungannya dengan hukum yang hidup.
2.
Roscoe Pound (1870-1964)
Pound terkenal dengan teorinya bahwa
hukum adalah alat untuk memperbaharui (merekayasa) masyarakat (law is a tool of
social engineering). Untuk dapat memenuhi peranannya sebagai alat tersebut,
Pound lalu membuat penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang harus
dilindungi oleh hukum, diantaranya:
a.
Kepentingan umum (public interest):
1)Kepentingan
negara sebagai badan hukum
2)Kepentingan
negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat
b
Kepentingan masyarakat (social interest):
1)Kepentingan
akan kedamaian dan ketertiban
2
Perlindungan lembaga-lembaga sosial
3)Pencegahan
kemerosotan akhlak
4)Pencegahan
pelanggaran hak
5)Kesejahteraan
sosial
c.Kepentingan
pribadi (private interest):
1)Kepentingan
individu
2)Kepentingan
keluarga
3)Kepentingan
hak milik
Dari klasifikasi tersebut dapat
ditarik dua hal. Pertama, Pound mengikuti garis pemikiran yang berasal dari von
Jhering dan Bentham, yaitu berupa pendekatan terhadap hukum sebagai jalan ke
arah tujuan sosial dan sebagai alat dalam perkembangan sosial. Kedua,
klasifikasi tersebut membantu menjelaskan premis-premis hukum, sehingga membuat
pembentuk undang-undang, hakim, pengacara, dan pengajar hukum menyadari akan
prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang terkait dalm tiap-tiap persoalan khusus.
Dengan perkataan lain, klasifikasi itu membantu menghubungkan antara prinsip
(hukum) dan prakteknya.
F.Realisme Hukum
Dalam pandangan penganut Realisme,
hukum adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Kaena
itu, program ilmu hukum realis hampir tidak terbatas. Kepribadian manusia,
lingkungan sosial, keadaan ekonomi, kepentingan bisnis, gagasan yang sedang
berlaku, emosi-emosi yang umum, semua itu adalah pembentuk hukum dan hasil
hukum dalam kehidupan.
Realisme berpendapat bahwa tidak ada
hukum yang mengatur suatu perkara sampai ada putusan hakim terhadap perkara
itu. Apa yang dianggap hukum dalam buku-buku baru merupakan taksiran tentang
bagaimana hakim akan memutuskan. Realisme dibedakan dalam dua kelompok:
1.Realisme
Amerika
Sebagaimana dikatakan oleh Holmes
Jr., dugaan-dugaan tentang apa yang akan diputuskan oleh pengadilan itulah yang
disebut dengan hukum. Sumber hukum utama ini adalah putusan hakim. Tokoh-tokoh
utama aliran Realisme Amerika antara lain:
a.Charles
Sanders Peirce (1839-1914)
Pragmatisme menyangkal kemungkinan
bagi manusia untuk mendapat suatu pengetahuan teoretis yang benar. Oleh karena
itu ide-ide perlu diselidiki dalam praktek hidup. Hal ini diuraikan oleh Peirce
dalam makalahnya berjudul How to Make Our Ideas Clear?(1878). Menurut Peirce,
ide-ide diterangkan dengan jalan analitis. Metode analitis ini harus digunakan
secara fungsional, yakni dengan menyelidiki seluruh konteks suatu pengertian dalam
praktek hidup.
b.John
Chipman Gray (1839-1915)
Sebagaimana ciri Realisme Amerika,
Gray menempatkan hakim sebagai pusat perhatiannya. Semboyannya yang terkenal
adalah All the law is judge-made-law. Ia menyatakan bahwa disamping logika
sebagai faktor penting dalam pembentukan perundang-undangan, unsur logis
memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan hukum.
c.Oliver
Wendell Holmes Jr. (1841-1935)
Menurut Holmes, seorang sarjana
hukum harus menghadapi gejala-gejala hidup secara realistis. Kalau ia berusaha
mengambil sikap demikian, ia akan sampai pada keyakinan bahwa penjahat pun sama
sekali tidak menaruh minat pada prinsip-prinsip normatif hukum. Bagi mereka
yang penting manakah kelakuan aktual seorang hakim, yakni pertanyaan, apakah
seorang hakim akan menerapkan sanksi pada suatu kelakuan yang tertentu atau
tidak. Ucapan Holmes yang terkenal yakni “Perkiraan-perkiraan tentang apa yang
diputuskan oleh pengadilan, itulah yang saya maksudkan dengan hukum“.
d.William
James (1842-1910)
James menyatakan bahwa seorang
pragmatis menolak abstraksi dan hal-hal yang tidak memadai, penyelesaian secara
verbal, alasan apriori yang tidak baik, prinsip yang ditentukan, sistem yang
tertutup, dan hal-hal yang dianggap mutlak dan asli. Ia berbalik menentang
kelengkapan dan kecukupan, fakta, perbuatan, kekuasaan.
e.John
Dewey (1859-1952)
Inti ajaran Dewey adalah bahwa
logika bukan berasal dari kepastian-kepastian dari prinsip-prinsip teoretis
seperti silogisme, tetapi suatu studi tentang kemungkinan-kemungkinan. Logika
adalah teori tentang penyelidikan mengenai akibat-akibat yang mungkin terjadi,
suatu proses dalam mana prinsip umum hanya bias dipakai sebagai alat yang
dibenarkan oleh pekerjaan yang dikerjakan. Kalau diterapkan dalam proses hukum,
ini berarti bahwa prinsip-prinsip umumnya telah ditetapkan sebelumnya harus
dilepaskan untuk logika yang lebih eksperimental dan luwes.
f.Benjamin
Nathan Cardozo (1870-1938)
Tokoh ini beranggapan bahwa hukum
mengikuti perangkat hukum mengikuti perangkat aturan umum dan yakin bahwa
penganutan terhadap preseden seharusnya merupakan aturannya, dan bukan
merupakan pengecualian dalam pelaksanaan peradilan. Namun ia mengemukakan
adanya kelonggaran atau keluwesan pelaksanaan aturan ketat itu apabila
penganutan terhadap preseden tidak konsisten dengan rasa keadilan dan
kesejahteraan sosial. Ia berpendapat bahwa kebutuhan akan kepastian harus
diserasikan dengan kebutuhan akan kemajuan sehingga doktrin preseden tidak
dapat dianggap sebagai kebenaran yang mutlak dan abadi. Tampak dalam pendapatnya
bahwa dalam kegiatannya, hakim wajib mengikuti norma-norma yang berlaku di
masyarakat dan menyesuaikan putusannya dengan kepentingan umum.
g.Jerome
Frank (1889-1957)
Menurut Frank, hukum tidak dapat
disamakan dengan suatu aturan yang tetap. Sama dengan Gray, Frank berpendapat
bahwa unsur-unsur lain seperti prasangka politik, ekonomi, moral, bahkan
simpati dan antipasti pribadi, semuanya ikut berperan dalam putusan tersebut.
Norma hukum sebaiknya dilukiskan sebagai suatu generalisasi fiktif dari kelakuan
hakim. Oleh karena itu, dengan melihat norma hukum itu dapat juga diramalkan
tentang kelakuan seorang hakim di masa depan, walaupun ramalan tersebut hanya
berlaku dalam batas tertentu.
2.Realisme
Skandinavia
a.Axel
Hagerstrom (1868-1939)
Hagerstom menyatakan bahwa hukum
seharusnya diselidiki dengan bertitik tolak pada data empiris, yang dapat
ditemukan dalam perasaan psikologis. Adapun yang dimaksud dengan perasaan
psikologis ini adalah rasa wajib, rasa kuasa dalam mendapat untung, rasa takut
akan reaksi dari lingkungan, dan sebagainya.
b.Karl
Olivecrona (1897-1980)
Olivecrona menyamakan hukum dengan
perintah-perintah yang bebas. Menurutnya, adalah keliru untuk menganggap hukum
sebagai perintah dari seorang manusia, sebab tidak mungkin ada manusia yang
dapat memberikan semua perintah yang terkandung dalam hukum itu. Ia juga
menolak untuk mengidentikkan pemberi perintah dari hukum itu dengan negara atau
rakyat.
Ketentuan
undang-undang itu sendiri hanyalah kata-kata di atas kertas. Kenyataan yang
berkenaan dengan reaksi-reaksi psikologis dari para individu, yakni ide tentang
tindakan apa dan perasaan apa yang timbul apabila mereka mendengar atau melihat
suatu ketentuan.
c.Alf
Ross (1899-1979)
Sebagaimana penganut Realisme Hukum,
Ross (ahli hukum Denmark) berpendapat bahwa hukum adalah suatu realitas sosial.
Ross berusaha untuk membentuk suatu teori hukum yang empiris belaka, tetapi
yang dapat mempertanggungjawabkan keharusan normatif sebagai unsur mutlak dari
gejala hukum. Hal ini hanya mungkin kalau berlakunya normatif dari
peraturan-peraturan hukum ditafsirkan sebagai rasionalisasi atau ungkapan
simbolis dari kenyataan-kenyataan fisio-psikis. Maka dalam realitas terdapat
hanya kenyataan-kenyataan saja. Keharusan normatif yang berupa rasionalisasi
dan symbol itu bukan realitas, melainkan bayangan manusia tentang realitas.
d.Herbert
Lionel Adolphus Hart (lahir 1907)
Hart mengatakan bahwa hukum harus
dilihat, baik dari segi aspek ekstern maupun internnya. Dari segi ekstern,
berarti hukum dilihat sebagai perintah penguasa, sebagaimana diartikan oleh
Austin. Di samping itu, ada aspek intern, yaitu keterikatan terhadap perintah
dari penguasa itu secara batiniah.
Hart membedakan secara tegas antara
hukum (dalam arti das sein) dan moral (das sollen). Adapun yang disebut hukum
hanyalah menyangkut aspek formal. Artinya, suatu hukum dapat saja disebut
hukum, walaupun secara material tidak layak untuk ditaati karena bertentangan
dengan prinsip-prinsip moral.
e.Julius
Stone
Julius Stone memandang hukum sebagai
suatu kenyataan sosial. Makna dari kenyataan sosial ini dapat ditangkap melalui
suatu penyelidikan logis-analitis, sebagaimana telah dipraktekkan dalam mazhab
hukum Austin dan kawan-kawan. Akan tetapi niat Stone ingin menjangkau lebih
jauh lagi. Stone bermaksud mengerjakan suatu ajaran tentang keadilan yang
menjadi ukuran bagi tata hukum yang berlaku. Hal ini merupakan kemajuan, sebab
secara tradisional dalam mazhab hukum analitis norma-norma hukum sama sekali
tidak dipelajari.
Pandangan Stone tentang hukum tidak
jauh berbeda dengan Hart. Ia juga berpendapat bahwa hukum harus dibedakan dari
moral. Hukum adalah semua aturan, baik yang mengandung aspek moral maupun
tidak.
f.John
Rawls (lahir 1921)
Rawls adalah tokoh yang meyakini
bahwa prinsip-prinsip etika dapat menjadi dasar yang kuat dalam membangun
masyarakat yang adil. Rawls mengembangkan pemikirannya tentang masyarakat yang
adil dengan teori keadilannya yang dikenal pula dengan teori Posisi Asli. Dalam
mengembangkan teorinya, Rawls banyak terpengaruh dalam aliran Utilitarianisme.
G.
Freirechtslehre
Freirechtslehre (ajaran hukum bebas)
merupakan penentang paling keras Positivisme Hukum. Penemuan hukum bebas
bukanlah peradilan yang tidak terikat pada undang-undang. Hanya saja,
undang-undang tidak merupakan peranan utama, tetapi sebagai alat bantu untuk
memperoleh pemecahan yang tepat menurut hukum dan yang tidak perlu harus sama
dengan penyelesaian undang-undang.
Aliran hukum bebas berpendapat bahwa
hakim mempunyai tugas untuk menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas tugasnya
bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan penyelesaian yang tepat
untuk peristiwa konkret sehingga peristiwa-peristiwa selanjutnya dapat
dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan oleh hakim. Tidak mustahil
penggunaan metode penemuan hukum bebas ini akan menghasilkan pemecahan yang
sama seperti metode-metode yang lain. Ini adalah masalah titik tolak cara
pendekatan problematik. Seorang yang menggunakan penemuan hukum bebas tidak
akan berpendirian “Saya harus memutuskan demikian karena bunyi undang-undang
adalah demikian“. Ia harus mendasarkan pada berbagai argumen, antara lain
undang-undang.
0 komentar:
Posting Komentar