BAB
I
PENDAHLUAN
A.
Latar Belakang
Adakalanya
manusia mempunyai kepentingan perseorangan (untuk melindunginya diperlukan hak)
dan mempunyai kepentingan bersama.Manusia yang mempunyai kepentingan bersama,
memperjuangkan suatu tujuan tertentu, berkumpul dan mempersatukan diri. Keanekaragaman pada hakikatnya merupakan
suatu kelebihan yang dimiliki umat manusia. Perbedaan itu bisa berupa apa saja.
Baik perbedaan jenis kelamin,perbedaan umur, tempat tinggal, warna kulit,
bahasa ataupun budaya.Masin gmasing perbedaan tersebut memiliki keunikan dan
kelebihan masing-masing. Namun justru perbedaan inilah yang menjadi bibit
perselisihan. Sepanjang sejarah dunia pada umunya dan Indonesia pada
khususnya,perselisihan kerap kali terjadi pada dua kelompok yang memiliki
perbedaan. Banyak sekali perbedaan yang menjadi cikal bakal perselisihan
ataupun permusuhan besar-besaran, tetapi dalam banyak kasus, perbedaan etnis
atau budayamerupakan salah satu yang paling sering menjadi sorotan. Perbedaan
ini seringmenjadi awal pertikaian yang sangat sulit untuk dihentikan bahkan
hingga turuntemurun.
Indonesia yang dikenal dengan keanearagamannya
yang luar biasa tentu sajatidak dapat luput dari berbagai kasus perselisihan
antar dua kelompok budaya.Perselisihan semacam ini kerap terjadi dalam berbagai
bentuk. Mulai dariperebutan hak milik atas suatu benda, tanah hingga
perkelahian fisik yang menyebabkan korban dari di dua belah pihak. Namun
terkadang perselisihan semacam ini bisa berkembang terlalu jauhdan menyimpang
dari apa yang biasanya terjadi. Perselisihan antar etnis ataubudaya ternyata
mampu berkembang menjadi suatu tindakan agresif yang membuatpelakunya bertindak
diluar batas bahkan dikategorikan kriminal berat. Kategoricriminal tertinggi
dari perselisihan macam ini adalah pembantaian besar-besaranterhadap suatu etnis
tertentu. Hal ini pernah beberapa kali terjadi di masa silam baikdi Indonesia
ataupun negara lain. Pembantaian ini tak urung yang menyebabkan jatuhnya banyak
korban dan kerugian materil maupun immateril. Pembantaian semacam ini biasa
juga dikenal dengan istilah Genosida atau pembantaian massal .
Pembantaian
Massal Yang Terjadi Di Bosnia – Herzegovina Merupakan Salah Satu Dari Banyak
Contoh Genosida Yang Telah Terjadi Selama Ini. Peperangan Yang Berawal Dari
Perbedaan Cara Pandang Mereka Dalam Memahami Keyakinan Dan Kepentingan Satu
Sama Lain Berujung Pada Peristiwa Pembantaian Massal Yang Dilakukan Oleh
Tentara Ultra Nasionalis Serbia Terhadap Etnis Bosnia Yang Mayoritas Islam.
Ketika Peperangan Berlangsung Banyak Dari Tentara Ultra Nasionalis Yang
Melakukan Kekejaman Tiada Tara Seperti Pembunuhan Terhadap Penduduk Sipil
(Terutama Warga Muslim), Pemerkosaan Massal, Pemindahan Penduduk Secara Paksa,
Dan Pengerusakan Fasilitas Umum. Dalam bukunya yang berjudul The First
Casuality Philip Knightley berujar : “Korban pertama perang adalah kebenaran,
pihak yang saling baku bunuh selalu berprinsip bahwa alasan mereka berada di
garis depan adalah untuk membela kebenaran’’. Pembantaian penduduk sipil di
Bosnia telah menjadi saksi sejarah yang teramat penting dan menyakitkan bagi
umat Islam di dunia.
B.Permasalahan
Dari latar belakang di atas ada beberapa permasalahan yang dapat ditarik
sebagai berikut :
1. Berikan penjelasan lebih lanjut mengenai GENOSIDA ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.GENOSIDA
a.
Pengertian Genosida
Pengertian Genosida Genosida dalam ilmu sosiologi
termasuk sebagai bagian pola hubunganantar kelompok. Kontak antar dua kelompok
ras dapat diikuti proses akulturasi(perpaduan budaya), dominasi (satu ras
menguasai ras yang lain), paternalism(dominasi ras pendatang), atau integrasi
(pengakuan perbedaan). Genosida secara umum didefinisikan sebagai sebuah
pembantaian besarbesaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau
kelompok denganmaksud memusnahkan (membuat punah) bangsa tersebut. Kata ini
pertama kalidigunakan oleh seorang ahli hukum Polandia, Raphael Lemkin, pada
tahun 1944 dalambukunya Axis Rule in Occupied Europe yang diterbitkan di
Amerika Serika. Kata inidiambil dari bahasa Yunani γένος genos (ras, bangsa
atau rakyat) dan bahasa Latincaedere (pembunuhan). Genosida merupakan satu dari
empat pelanggaran HAM berat yang beradadalam yurisdiksi International Criminal
Court. Pelanggaran HAM berat lainnyaialah kejahatan terhadap
kemanusiaan,kejahatan perang, dan kejahatan Agresi. Menurut Statuta Roma dan
Undang-Undang no. 26 tahun 2000tentang Pengadilan HAM, genosida ialah “
Perbuatan yang dilakukan denganmaksud untuk menghancurkan atau memusnahkan
seluruh atau sebagian kelompokbangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama
dengan cara membunuh anggotakelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau
mental yang berat terhadapanggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan
kelompok yang menciptakankemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya;
melakukan tindakan mencegahkelahiran dalam kelompok; memindahkan secara paksa
anak-anak dalamkelompok ke kelompok lain.
b. Kasus Genosida dan
Faktor-Faktor Penyebabnya
1.
Kasus genosida di Indonesia
Indonesia sebagai Negara kesatuan yang terdiri dari
ribuan pulau dan wilayah yang cukup besar memiliki banyak sekali budaya yang
terdapat didalamnya. Bahkan di satu pulau dapat memiliki ratusan kebudayaan
yang berbeda satu sama lain. Keanekaragaman ini merupakan suatu kelebihan namun
tidak menutup adanya perselisihan antar kelompok etnis yang tumbuh tersebar di
seluruh kawasan Indonesia. Hal itu dapat terlihat dari berbagai kasus Genosida
yang terjadi sejauh sejarah berdirinya Indonesia.
Indonesia
sebagai Negara kesatuan yang terdiri dari ribuan pulau dan wilayah yang cukup
besar memiliki banyak sekali budaya yang terdapat didalamnya. Bahkan di satu
pulau dapat memiliki ratusan kebudayaan yang berbeda satu sama lain.
Keanekaragaman ini merupakan suatu kelebihan namun tidak menutup adanya
perselisihan antar kelompok etnis yang tumbuh tersebar di seluruh kawasan
Indonesia. Hal itu dapat terlihat dari berbagai kasus Genosida yang terjadi
sejauh sejarah berdirinya Indonesia.
·
Pembunuhan masal di Bandanaira (Pulau Banda)
tahun 1621 oleh Belanda pada zaman Jan Pietersz Coen. Penduduk dipaksa untuk
bekerja. Akibat pembunuhan tersebut belanda terpaksa mendatangkan budak dr
Negara dan daerah lain. Jumlah pasti tidak diketahui. Dalam kesaksian disebut
hamper semua penduduk meninggal, sebagian kecil melarikan diri.
·
Pembantaian pada zaman Kerja Tanam Paksa
setelah Perang Jawa (18251830) dibawah kepemimpinan Jenderal Van den Bosch.
Jumlah pasti korban tidak diketahui.
·
Tragedi pembantaian Jepang di Kalimantan.
Tidak hanya kaum prokemerdekaan yg dibunuh tetapi juga para pemuka agama,
pemuka golongan dan para Raja di zaman itu.
·
Westerling di Sulawesi Selatan. Menurut
mantan Diplomat RI, Manai Sophian, tercatat 40.000 orang meninggal meski
Belanda mengklaim hanya 5000 orang yang meninggal.
·
Tragedi 1965. Setelah gerakan G30SPKI
terjadi, gerakan ‘membersihkan’ komunis menggelora dimana-mana. Militer
dikerahkan ke seluruh negri, Mereka yang dianggap pendukung komunis, dibantai,
ditangkap, disiksa dan dibuang tanpa pernah ada pengadilan yang adil dan bukti
yang jelas. Kebanyakan dari mereka yang ditangkap adalah buruh dan petani.
·
Tragedi mei 1998 dimana etnis tionghoa
mengalami pembantaian, pengrusakan properti, pemerkosaan dan penculikan.
·
Kerusuhan Sampit, (Februari 2001) Kalimantan
Barat antara suku Dayak dan Suku Madura. Kebanyakan kasus Genosida yang terjadi
sebelum masa kemerdekaan memiliki motif atau latar belakang kepentingan politik
para penjajah di masa itu. Sedangkan kasus Genosida yang terjadi setelah
kemerdekaan Indonesia seperti kasus G30SPKI dimana pembantaian dilakukan
terhadap mereka yang menganut paham dan termasuk golongan komunis merupakan
kasus Genosida dengan latar belakang faham atau golongan.
2. Kasus Genosida Internasional
Selain
di Indonesia, dunia memiliki sejarah sendiri tentang terjadinya Genosida.
Sebagian kasus di antaranya adalah :
·
Pembantaian bangsa Kanaan oleh bangsa Yahudi
pada milenium pertama sebelum Masehi.
·
Pembantaian bangsa Helvetia oleh Julius
Caesar pada abad ke-1 SM.
·
Pembantaian suku bangsa Keltik oleh bangsa
Anglo-Saxon di Britania dan Irlandia sejak abad ke-7.
·
Pembantaian bangsa-bangsa Indian di benua
Amerika oleh para penjajah Eropa semenjak tahun 1492.
·
Pembantaian bangsa Aborijin Australia oleh
Britania Raya semenjak tahun 1788.
·
Pembantaian Bangsa Armenia oleh beberapa
kelompok Turki pada akhir Perang Dunia I.
·
Pembantaian Orang Yahudi, orang Gipsi (Sinti
dan Roma) dan suku bangsa Slavia oleh kaum Nazi Jerman pada Perang Dunia II.
·
Pembantaian suku bangsa Jerman di Eropa Timur
pada akhir Perang Dunia II oleh suku-suku bangsa Ceko, Polandia dan Uni Soviet
di sebelah timur garis perbatasan Oder-Neisse.
·
Pembantaian lebih dari dua juta jiwa rakyat
oleh rezim Khmer Merah pada akhir tahun 1970-an.
·
Pembantaian bangsa Kurdi oleh rezim Saddam Hussein
Irak pada tahun 1980-an.
·
Efraín Rios Montt, diktator Guatemala dari
1982 sampai 1983 telah membunuh 75.000 Indian Maya.
·
Pembantaian Rwanda, pembantaian suku Hutu dan
Tutsi di Rwanda pada tahun 1994 oleh terutama kaum Hutu.
·
Pembantaian suku bangsa Bosnia dan Kroasia di
Yugoslavia oleh Serbia antara 1991 - 1996. Salah satunya adalah Pembantaian
Srebrenica, kasus pertama di Eropa yang dinyatakan genosida oleh suatu
keputusan hukum.
·
Pembantaian kaum berkulit hitam di Darfur
oleh milisi Janjaweed di Sudan pada 2004. Pembantaian ini dianggap Genosida
oleh pemerintah Amerika Serikat namun dianggap tidak oleh PBB. Dari sekian
banyak kasus Genosida yang terjadi, kasus Rwanda merupakan salah satu kasus
Genosida yang sangat bernuansa etnis. Republik Rwanda adalah sebuah negara di
benua Afrika bagian tengah yang berbatasan dengan Republik Demokratik Kongo,
Uganda, Burundi danTanzania. Penduduk asli Rwanda terdiri dari tiga suku yaitu
Tutsi, yang merupakan orang-orang dusun yang tiba di sini sejak abad ke-15; Hutu,
yang merupakan mayoritas penduduk, merupakan petani asal Bantu. Hingga 1959,
suku Hutu membentuk strata dominan di bawah sistem feodal yang berdasarkan pada
kepemilikan ternak; dan Twa, yang dipercayai merupakan sisa pemukim terawal di
sini. Suku Twa dianggap yang tertua, lalu orang Hutu dan kemudian Tutsi. Rwanda
merupakan salah satu daerah jajahan Belgia. Pada jaman penjajahan, terjadilah
suatu diversifikasi suku, yang dilakukan oleh Belgia.
Jika
dilihat sekilas hampir tak ada perbedaan dalam warna kulit, bentuk tubuh maupun
ukuran yang dimiliki oleh suku-suku tersebut. tapi pada waktu penjajahan
Belgia, suku Hutu di anggap sebagai suku yang minoritas sedangkan Tutsi
dianggap sebagai suku yang lebih tinggi eksistensinya. Hal tersebut karena suku
Tutsi memiliki warna kulit yang lebih terang, postur tubuh yang tinggi,
langsing dan juga memiliki ukuran hidung yang lebih ramping dan mancung.
Sedangkan suku Hutu memiliki kulit yang berwarna lebih hitam, postur yang agak
pendek, hidungnya besar dan pesek.Para penjajah Belgia lebih memilih
orang-orang dari suku Tutsi untuk menjalankan pemerintahan daripada orang-orang
yang berasal dari suku Hutu. Mereka mempekerjakan suku Tutsi untuk pekerjaan
“kerah putih” yaitu pekerjaan yang lebih tinggi posisinya sedangkan untuk
“kerah biru” yaitu posisi yang lebih rendah, dan pekeja kasar diberikan kepada
suku Hutu yang sebenarnya merupakan penduduk mayoritas di Rwanda. Secara tidak
langsung, Belgia mengadu domba kedua suku ini.
Hal
inilah yang menjadi awal dari timbulnya benih-benih kebencian, ke iri hatian,
dan kecemburuan sosial yang akut dan mengakar. Menurut Simon Fisher dalam
bukunya, Mengelola konflik; Keterampilan & Strategi untuk Bertindak, dalam
teori Hubungan Masyarakat disebutkan bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi
yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang
berbeda dalam suatu masyarakat.Setelah beberapa tahun kemudian, tepatnya di
tahun 1994, masalah ini kembali muncul sehingga menyebabkan timbulnya konflik
ketika para Militan Hutu mengadakan genosida massal untuk membantai kelompok
Tutsi yang disebut dengan “Cocoroaches” (cockroach : kecoa), dan menyamakan
mereka tidak lebih dari derajat seekor sapi untuk dibantai. Dengan sandi “lets
cut all the trees!” mereka memulai pembantaian itu.Bahkan ketika pada bulan
Juli 1994, beberapa hari sebelum pembantaian tersebut terjadi, Presiden Rwanda
yang baru saja terpilih (suku Hutu) dan telah menyetujui perjanjian damai
Hutu-Tutsi, dibunuh dalam pesawatnya, yang sebenarnya dilakukan oleh kelompok
Hutu itu sendiri untuk memanaskan adrenalin para pembantai dengan menyebarkan
berita bahwa pembunuhan tersebut dilakukan oleh kelompok dari suku Tutsi. Upaya
damai yang telah dilakukan oleh perwakilan dari kedua suku tersebut pun gagal.
Operasi mereka dimulai dengan sweeping masal KTP warga negara Rwanda yang
dimana di KTP tersebut terdapat cap besar untuk membedakan antara Hutu dan
Tutsi.
Selain itu menurut teori Identitas,
konflik juga disebabkan oleh identitas yang terancam, yang sering berakar pada
hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. Jika
dikaitkan dengan konflik yang terjadi di Rwanda antara kedua kelompok suku
tersebut, dapat dilihat bahwa diversivikasi dan stratifikasi sosial yang
terjadi antara Hutu dan Tutsi pada masa kolonialisasi menimbulkan
kesalahpahaman dan tidak adanya komunikasi yang baik antara kedua suku
tersebut. Dendam suku Hutu terhadap identitas dirinya sebagai penduduk
mayoritas yang terdiskriminasi di Rwanda belum terselesaikan hingga kini dan
menjadi penyebab utama timbulnya pembantaian terhadap suku Tutsi.Penyebab lain
adalah terjadinya eskalasi konflik. Tidak adanya komunikasi yang baik,
diskriminasi pekerjaan, kecemburuan sosial, menyebabkan kesenjangan yang
terjadi antara kedua kelompok tersebut mengakar dan menimbulkan konflik yang
sejak dulu ada kembali muncul ke permukaan. Eskalasi konflik terjadi ketika
kelompok suku Hutu sengaja melakukan pembunuhan berencana terhadap presiden
Habyarimana. Hal tersebut dilakukan untuk memancing kemarahan massa suku Hutu
terhadap dendam yang selama ini terpendam. Mereka dengan sengaja menyebarkan
berita palsu bahwa pembunuhan presiden yang juga berasal dari suku Hutu
tersebut dibunuh oleh kelompok pemberontak suku Tutsi.
Dengan
tersebarnya berita tersebut dikalangan masyarakat, menyebabkan suku Hutu
semakin marah dan mengupayakan tindakan balas dendam terhadap seluruh suku
Tutsi di Rwanda. Kurang Lebih 250.000 suku Tutsi dibantai dihari itu dan hampir
50.000 jiwa yang berasal dari suku Hutu mati karena juga terjadi perlawanan di
pihak Tutsi oleh “Tutsi Rebels”. Total semua korban yang mengalami kematian
dari genosida tersebut adalah 500.000 jiwa dan membengkaksampai angka 800.000.
Berdasarkan perhitungan bruto akhir adalah 1.000.000 jiwa melayang. Pada saat
genosida ini berlangsung, para perempuan dari suku Tutsi di perkosa lalu di
bunuh. Mereka diperlakukan tidak manusiawi. Mereka dilempari batu, di perkosa
dan di kandangkan.
c. Pengendalian dan Pencegahan
Genosida dalam Masyarakat
Telah dibahas sebelumnya bahwa Genosida merupakan bagian
dari pola hubungan antar kelompok, dalam pokok bahasan disini, Genosida menjadi
salah satu pola hubungan antar kelompok etnis. Berdasarkan uraian kasus kasus
diatas, dapat terlihat bahwa genosida yang terjadi khususnya antar kelompok
etnis berkembang dan pecah bukan hanya karena perilaku menyimpang dari kedua
belah pihak yang memanfaatkan rasa etnosentris pada diri mereka untuk melakukan
hal yang tidak manusiawi, tetapi ada juga faktor dari luar kelompok yang
menyebabkan itu bisa terjadi.Salah satu yang dibahas diatas adalah
ketidakpuasan kelompok atas kinerja pemerintah yang tidak tuntas dalam
menyelesaikan masalah antar dua belah pihak sehingga menyebabkan kelompok
bersangkutan mencari cara lain untuk menyelesaikan. Atas dasar solidaritas
terhadap sesama kelompok satu etnis, maka mereka melakukan tindakan yang
melanggar hukum dan tidak manusiawi. Tindakan ini bisa dikategorikan tindakan
yang menyimpang atau tidak sesuai harapan masyarakat. Selain itu adanya
diversifikasi yang terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung dapat
menyebabkan kecemburuan sosial dan berujung pada dendam yang mengakar.
Sehubungan
dengan penyimpangan yang dilakukan kelompok tentunya ada pengendalian sosial
yang dilakukan. Menurut Berger, cara pengendalian terakhir dan tertua adalah
dengan paksaan fisik.Pada kasus kerusuhan Sampit maupun kasus Rwanda, bentuk
pengendalian yang dilakukan adalah dalam bentuk fisik. Hal ini dilakukan karena
kategori penyimpangan yang dilakukan masyarakat sudah memasuki kategori
criminal berat yang direncanakan oleh kolektif. Bentuk pengendalian yang
diambil pun lebih kuat yaitu melalui militer pemerintahan yang turun langsung
dan menghentikan tindakan Genosida secara langsung dan fisik. Dalam kasus
Rwanda khususnya yang merupakan peristiwa cukup besar, militer yang digunakan
untuk mengendalikan sebagian besar berasal dari luar negri dimana
pasukan-pasukan perdamaian berdatangan dari berbagai Negara untuk menghentikan
tragedi kemanusiaan abad 20 itu
Disamping
itu, baik di Indonesia maupun internasional telah ditetapkan hukum-hukum
tentang keberlangsungan hidup (HAM) pada umumnya dan perlindungan terhadap
kelompok masyarakat dan golongan baik etnis atau bukan. Di Indonesia Pengadilan
HAM berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya
meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Pengadilan HAM
bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hakasasi
manusia yang berat. Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas
teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia
Akan
tetapi Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran
hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di
bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan. Berdasarkan UU
no. 26 tahun 2000, pelanggaran HAM meliputi kejahatan Genosida sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7a : “
adalah setiap perbuatan yang dilakukan
dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras,
kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: Membunuh anggota kelompok;
Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota
kelompok; Menciptakan kondisi kehidupan kelompok
yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; Memindahkan secara
paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok
lain; Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; “
Dunia
internasional sendiri merujuk peraturan HAM oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) yang merupakan organisasi dunia dan dibentuk dengan alasan utama hak
asasi manusia. Kekejaman dan Genosida setelah Perang Dunia II menyebabkan
munculnya konsensus bahwa organisasi baru ini harus bekerja untuk mencegah
tragedi serupa di masa mendatang. Tujuan awal adalah menciptakan kerangka hukum
untuk mempertimbangkan dan bertindak atas keluhan tentang pelanggaran hak asasi
manusia.
Beberapa
hak 370 juta masyarakat adat di seluruh dunia juga merupakan suatu fokus untuk
PBB, dengan Deklarasi tentang Hak-Hak Masyarakat Adat yang disetujui oleh
Majelis Umum pada tahun 2007. Deklarasi
ini menguraikan hak-hak individu dan kolektif untuk budaya , bahasa,
pendidikan, identitas, pekerjaan dan kesehatan, menyikapi isu-isu
pasca-kolonial yang dihadapi masyarakat adat selama berabad-abad. Deklarasi
tersebut bertujuan untuk mempertahankan, memperkuat dan mendorong pertumbuhan
adat, budaya institusi dan tradisi. Deklarasi ini juga melarang diskriminasi
terhadap masyarakat adat dan mendorong partisipasi aktif mereka dalam hal-hal
yang menyangkut masa lalu, masa sekarang dan masa depan mereka.
Meski
bisa dilakukan tindakan pengendalian, perlu juga dipahami bahwa tindakan
pencegahan akan jauh lebih baik jika tindakan pencegahan juga dilakukan sejak
awal. Jika menilik kasus genosida bernuansa etnis diatas, dapt terlihat bahwa
masalh antar dua kelompok bertikai dimulai dari ketidakcocokan dan prasangka
yang berkembang menjadi streotip negatif tertentu. Diversifikasi etnis yang
dilakukan pihak luar ataupun pemerintah juga menjadi salah satu penyebabnya.
Dan yang paling utama adalah tidak terselesaikannya urusan hukum secara tuntas
antara kedua belah pihak yang berseteri sehingga salah satu pihak atau keduanya
memilih untuk bertindak secara agresif untuk mendapat keinginannya. Karena itu
tindakan pencegahan yang paling penting adalah berasal dari pemerintah sebagai
pihak yang memiliki kuasa lebih.
Tindakan
pencegahan yang paling utama adalah memastikan apabila ada kasus antar dua
kempompok etnis, proses hukum berjalan dengan sebagaimana mestinya sesuai
peraturan yang berlaku dan tanpa memihak salah satunya. Dengan berjalannya
proses hukum yang baik, akan menimbulkan kepercayaan terhadap hukum sehingga
jika ada suatu pertikain baik bernuansa etnis ataupun tidak, kelompok-kelompok
tersebut akan mempercayakan penyelesaiannya kepada hukum pemerintah bukannya
malah bertindak agresif dan menyimpang.Tindakan pencegahan berikutnya adalah
memastikan peraturan-peraturan yang ada sudah cukup meng-cover segala hak dan kewajiban serta
perlindungan bagi masyarakat etnis tanpa mendahulukan atau menkhususkan etnis
manapun. Dengan adanya peraturan tersebut, masyrakat etnis akan merasa aman dan
tidak akan terpicu untuk membuat tindakan sendiri tapi menjadikan peraturan
pemerintah sebagai rujukan pertama.
Kedua
pencegahan diatas sangat penting untuk menghindari eskalasi konflik yang
mungkin terjadi antar dua kelompok etnis terutama di Negara Indonesia yang
terdiri dari ribuan suku bangsa berbeda. Penting bagi Indonesia untuk memliki
peraturan dengan status hukum yang kuat tentang keberadaan ettnis-etnis yang
berbeda dalam kawasaanya. Tugas pemerintahlah untuk memastikan semua peraturan
dijalankan dengan sesuai.
Selain
pencegahan dari pihak luar, anggota kelompok etnis sendiri pun perlu
menumbuhkan rasa toleransi terhadap etnis lain sebagai salah satu langkah
merubah pola pikir atas prasangka maupun stereotip etnis tertentu yang kerap
kali menjadi awal permusuhan antar etnis. Stereotip-stereotip yang berkembang
seperti suku Minang yang perhitungan, suku Batak yang kasar ataupu suku Jawa
yang kaku dan konservatif sebenarnya bisa dihapuskan. Harus ada pemahaman di
kalangan semua masyarakat terutama masyarakat yang masih menganut nilai-nilai
etnis tertentu bahwa stereotip bukanlah penilaian mutlak untuk keseluruhan
mayarakat etnis tertentu. Sehingga tidak ada anggapan bahwa etnis tertentu
adalah lebih baik dari etnis lainnya. Sikap saling toleran dan terbuka dengan
perbedaan tentunya mampu menumbuhkan sikap saling menghormati antar etnis
sehingga tidak akan terjadi pertikaian hingga tindakan seperti Genosida.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Genosida yaitu pembunuhan massal
terhadap suatu etnis tertentu merupakan tindakan menyimpang yang tidak
manusiawi yang seringkali diikuti dengan perilaku menyimpang lainnya seperti
penculikan, pemerkosaan dan penyiksaan. Banyak hal yang melatar belakangi tindakan
Genosida seperti adanya kepentingan politik, ekonomi dan juga rasa
etnosentrisme berlebihan sehingga membuat suatu etnis pantas memusnahkan etnis
lainnya. Rasa etnosentrisme negatif dapat dicegah mulai dari pemerintah yang
harus memastikan adanya peraturan hukum yang kuat tentang masyarakat etnis,
pelaksanaanya hingga tuntas dan tanpa memihak, serta harus adanya pemahaman
dari masyrakat sendiri tentang toleransi antar etnis. Pengendalian Genosida
apabila sudah terjadi adalah berupa pengendalian fisik melibatkan pihak
berwajib baik dari dalam negeri maupun luar negeri jika dibutuhkan.
B.
Saran
Tindak pidana GENOSIDA ini bukan
masalah yang biasa ,tindakan ini merupakan tidakan yang menyimpang dan tidak
manusiawi .Sebaiknya para penegak hukum harus lebih tegas untuk menangani kasus
Genosida yang terjadi di dunia ini.
DAFTAR BACAAN
Banton (1967:68-76 2 Lihat Kamanto Sunarto, Pengantar
Sosiologi, (Jakarta: LPFEUI, 2004), hal. 149.
2 komentar:
makasih bro, sangat membantu
thanks makalh nya kak,, membantu bgt ^^
Posting Komentar