PEMIMPIN
TIDUR SAAT
KESEJAHTERAAN
RAKYAT
DIKUASAI KORUPTOR
Melihat realita
kekinian, membuat jiwa kita geram, realitanya Kemakmuran Rakyat semakin menjauh
dari jangkauan. Kemakmuran hanya dimiliki oleh
para koruptor dengan dengan adanya kekuasaan yang mereka miliki. Disini
rakayat hanya menjadi korban kekuasaan para koruptor yang menindas dengan ilmu
politiknya. Di tengah kondisi bangsa yang semakin buruk ini, seharusnya para
pejabat bisa bertindak lebih “sopan” dalam mengembangkan amanat rakyat. Korupsi
menjadi akar segalanya. Bahkan, maju, mundur atau stagnasi negeri ini sangat
ditentukan korupsi yang terjadi saat ini. Sehingga, korupsi saat ini disebut
telah menjadi budaya. Terakhir, kasus yang sangat
mengejutkan, bahkan Akil Mochtar (Ketua Mahkamah Konstitusi) tertangkap tangan
melakukan korupsi. Suatu lembaga yang sangat terhormat dengan kekuasaan yang
sangat besar, justru terbukti melakukan tindakan korupsi. Bayangkan, seorang
yang dianggap bersih dan idealis saja tidak mampu menolak untuk “memakan” uang
rakyat, bagaimana dengan yang lain. Tentu bisa disimpulkan sendiri.
Belum lagi kasus
Hambalang yang sampai saat ini belum menemukan titik akhir. Banyaknya kasus
korupsi yang belum tuntas, ditambah kasus-kasus yang selalu muncul membuat
rakyat frustasi. Kemudian muncullah kalimat “Pemimpin Indonesia tidur saja,
yang penting tidak maling, maka Indonesia akan mampu sejahtera”. Itulah wujud
kekecewaan rakyat terhadap para pemimpin saat ini. Pemimpin adalah Cermin.
Mereka yang seharusnya melayani dan mengurusi rakyat, bukan bertindak seenaknya
sendiri.
Sebenarnya,
apa yang salah pada negeri ini. Apakah memang para pemimpin negeri ini sudah
tidak ada lagi yang baik dan betul-betul memperjuangkan kepentingan rakyat? Tentu
ini menjadi pertanyaan kita bersama. Ibnu Taimiyah pernah berpendapat bahwa
penguasa yang dhalim lebih baik daripada tidak ada pemimpin sama sekali. Bisa
jadi, para pemimpin saat ini memang telah menjadikan kata-kata tersebut sebagai
dasar pembenaran bagi tindakannya yang korup. Padahal, maksud Ibnu Taimiyah
bukanlah demikian.
Begitu
pentingnya peran seorang pemimpin dalam sebuah negara, sampai-sampai
dibahasakan oleh Ibnu taimiyah secara berlebihan. Oleh sebab itu, paradigma
seorang pemimpin haruslah benar. Bukan semata-mata agar dirinya baik, tetapi
lebih dari itu. Jika paradigma seorang pemimpin benar, maka itu akan
berimplikasi besar pada rakyat. Ya, pemimpin akan menjalankan tugas dan
fungsinya sesuai dengan fitrahya sebagai manusia yang mempunyai tanggung jawab
kemanusiaan.
Semua
pejabat harus menganggap dirinya sebagai pemimpin. Baik pejabat dari tingkat
pusat maupun sampai tingkat RT sekalipun harus menganggap dirinya sebagai
pemimpin. Sekali lagi, pemimpin punya tanggung jawab yang besar terhadap
kemajuan yang dipimpin. Jika sudah demikian, maka besar kemungkinan kemajuan
dan kesejahteraan masyarakat akan terwujud.
Anekdot
yang dibahas di awal sebenarnya merupakan wujud ketidakpercayaan masyarakat
terhadap para pemimpinnya saat ini. Oleh karena itu, pemimpin harus
membersihkan diri dari tuduhan-tuduhan yang selama ini menggema. Stigma negatif
itu harus dibuang jauh-jauh dengan cara “Ojo Korupsi, Ojo Ngapusi (jangan
korupsi, jangan berbohong)”. Ya, pemimpin jujur. Itulah yang dibutuhkan negeri ini.
Kejujuran sesesorang dalam memipin sebuah negara akan berdampak besar pada
segala aktivitas yang dijalankannya. Sehingga, amanat yang telah diberikan oleh
rakyat akan dijalankan dengan optimal dan maksimal. Itulah harapan kecil “orang
kecil” kepada para pejabatnya saat ini.
0 komentar:
Posting Komentar