BAB I
PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN
MELALUI HUKUM ADMINITRASI
A. Pengertian dan Tujuan
Aspek Hukum Administrasi
Hukum administrasi merupakan
instrumen yuridis bagi penguasa untuk secaraaktif terlibat dengan masyarakat,
pada sisi lain hukum administrasi merupakanhukum
yang memungkinkan anggota masyarakat mempengaruhi penguasa danmemberikan
perlindungan terhadap penguasa. Dalam sistem
hukum diindonesia penguasa itu terdiri dari penguasa di tingkat
pusat dalam hal iniadalah
pemerintah dan penguasa di tingkat daerah adalah pemerintah propinsidan
pemerintah kabupaten/kota.. Dengan mengkaji lebih
mendalam permasalahan hukum tentang pengelolaan lingkungan hidup di indonesia, maka bagian terbesar hukumlingkungan di indonesia
merupakan hukum administrasi. Hal ini dapat dilihat bahwa hukum
administrasi dapat
berbentuk undang-undang, peraturanpemerintah, peraturan
daerah tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Dengan demikian, aspek hukum administrasi akan tampak berkaitan dengan peran pemerintah (baik pemerintah maupun pemerintah propinsi dankabupaten/kota)
dalam memberikan perizinan pendirian usaha dan/ataukegiatan, dan
melakukan langkah penyelamatan lingkungan
apabila ketentuanyang
disyaratkan dalam perizinan itu dilanggar. Dengan demikian, tugas pemerintah adalah memberikan
pelayanan kepadawarga masyarakatnya sebelum melakukan aktivitas kehidupan untuk
mencapaimasyarakat yang adil dan makmur. Dalam kaitannya dengan pengelolaanlingkungan,
maka pelayanan pemerintah pada masyarakat adalah sesuaidengan tujuan
pengelolaan lingkungan hidup secara berdaya guna dan berhasil guna.
Dengan peraturan perundang-undangan tersebut dapat
diberikan landasandan kewenangan kepada pemerintah untuk menerbitkan
keputusan pemerintahan yang berfungsi melindungi (prevensi) dan
menegakkan peraturan perundang-undangan lingkungan. Keputusan tersebut
berbentuk perizinan untuk melakukan usaha dan/ atau kegiatan dengan
mencantumkan persyaratan yang wajib ditaati penerima izin seperti yang
berkenaan dengananalisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), baku mutu air
buangan danlain-lain, sehingga perizinan merupakan suatu instrumen penegakan
hukumlingkungan adminisitratif, kemudian apabila persyaratannya dilanggar
makaakan dikenakan sanksi administratif. Dalam proses dan prosedur perizinan
dicantumkan pula sanksi terhadap berbagai risiko yang kemungkinan akan
timbul, yaitu mulai dari sanksi yang berupa paksaan administrasi,
penutupan perusahaan, uang paksa dan pencabutan izin usaha. Hal ini
sebagaimana ditentukan dalam pasal-pasal25,26,27, dan 34 ayat (2) Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1997. Adapun bunyi pasal-pasal tersebut adalah: Pasal 25
1. Gubernur/Kepala
Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan pemerintahan terhadap
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri
terjadinya pelanggaran, serta menanggulangiakibat yang ditimbulkan oleh suatu
pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan/atau
pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan,
kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-undang.
2. Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
diserahkankepada Bupati/Walikotamadya/Kepala Daerah Tingkat II denganPeraturan
Daerah Tingkat I
3. Pihak ketiga
yang berkepentingan berhak mengajukan permohonankepada pejabat yang berwenang
untuk melakukan paksaan pemerintahan,sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2).
4. Paksaan
pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),didahului dengan
surat perintah dari pejabat yang berwenang.
5. Tindakan
penyelamatan, penanggulangan dan/atau pemulihansebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat diganti dengan pembayaransejumlah uang tertentu.Pasal 26
1. Tata cara penetapan beban biaya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25ayat (1) dan ayat (5) serta penagihannya ditetapkan dengan
peraturan perundang-undangan
2. Dalam hal peraturan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud padaayat (1) belum dibentuk, pelaksanaannya menggunakan upaya
hukummenurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.Pasal 27
1. Pelanggaran tertentu
dapat dij atuhi sanksi berupa pencabutan izin usahadan/atau kegiatan.
2.Kepala
Daerah dapat mengajukan usul untuk mencabut izin usahadan/atau kegiatan kepada
pejabat yang berwenang.
3,Pihak yang
berkepentingan dapat mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang
untuk mencabut izin usaha dan/atau kegiatankarena merugikan
kepentingannya.Pasal 34
(2) Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu
sebagaimanadimaksud pada ayat (1), hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa
atassetiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut.
Beberapa
pasal tersebut merupakan sanksi administrasi yang memangdalam hukum
administrasi mengenal beberapa jenis sanksi administrasi.Sanksi administrasi
tersebut mempunyai fungsi instrumental yaitu pencegahandan penanggulangan
perbuatan terlarang dan terutama ditujukan terhadap perlindungan
kepentingan lingkungan yang dijaga oleh ketentuan hukum yangdilanggar itu.Oleh
karena itu, aspek hukum administrasi bertujuan agar perbuatan yangmelanggar
hukum atau tidak memenuhi persyaratan yang diizinkan, agar berhenti
atau mengembalikan kepada keadaan semula, yaitu sebelumterjadinya pencemaran
dan perusakan. Jadi, fungsi pengawasan administrasimempunyai peran yang penting
dalam mekanisme penegakan hukumlingkungan administratif tersebut. Oleh karena
itu, fokus sanksi administrasiadalah perbuatannya, berbeda halnya dengan sanksi
hukum pidana fokusnyaadalah orangnya, agar ia berubah menjadi orang yang baik
dan memperhatikanlingkungan serta hak orang lain untuk hidup yang layak di
dalam lingkunganyang sehat.
B. Paksaan
Pemerintahan(Administratie Dwang)
Paksaan
pemerintahan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 25 tersebut di atasdikenal juga
dengan paksaan administratif yaitu paksaan pemeliharaan hukumyang berupa
larangan untuk meneruskan suatu usaha dan/atau kegiatan.Pemerintah berwenang
melakukan paksaan pemerintahan atau paksaanadministratif terhadap penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran serta
menanggulangi akibatyang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan
penyelamatan, penanggulangan dan/atau pemulihan atas beban biaya
penanggung jawabusaha dan/atau kegiatan. Pelanggar dapat diperingatkan agar
berbuat sesuaidengan izin yang diberikan, dan apabila tidak menaati izin
tersebut akandikenakan sanksi administratif lain yang lebih keras seperti uang
paksa danyang paling keras adalah pencabutan izin usaha. Paksaan
pemerintahdilakukan dengan didahului surat perintah oleh pejabat yang
berwenang. Jadi, sanksi berupa paksaan administratif atau lebih dikenal
sebagai paksaan pemeliharaan hukum, yaitu sanksi yang tidak melalui proses
di pengadilan. Paksaan pemeliharaan hukum ini adalah tindakan
pemerintahanyang bersifat polisionel. Misalnya tindakan polisi pamong praja
(Satpol PP)Kabupaten/Kota untuk mengosongkan suatu bangunan, tindakan
menertibkan bangunan liar, tindakan menggusur pedagang kaki lima di tempat
yangdilarang untuk berdagang, dan lain-lain. Apabila suatu izin telah ditarik
ataudicabut karena melakukan pelanggaran perizinan, karena tidak
memenuhi persyaratan, maka akan dilakukan paksaan pemeliharaan hukum yaitu
dapatdiadakan tindakan lanjutan berupa penyegelan dan sebagainya. Jadi,
dengan jalan menyegel tempat usaha berarti juga melakukan paksaan
administratif. Tujuan paksaan administratif atau pemerintahan ialah untuk
memperbaikikeadaan yang mengakibatkan dilanggarnya suatu peraturan.
Denganmempergunakan penegakan hukum lingkungan melalui hukum administratif,maka
pemerintah harus memperhatikan apa yang disebut oleh hukum tatausaha negara
sebagai asas-asas pemerintahan yang baik dalam era otonomidaerah saat ini.
C.Penutupan
Tempat Usaha
Ketentuan
tentang penutupan tempat usaha sebagaimana diatur dalam pasal- pasal
tersebut di atas secara eksplisit tidak menyebutnya, tetapi menurutdoktrin
salah satu sanksi administratif adalah penutupan tempat usahasebagaimana
dikemukakan oleh Siti Sundari bahwa salah satu sanksiadministratif adalah
penutupan perusahaan. Di samping itu juga, sebelum pemerintah melakukan
sanksi yang lebih keras lagi yaitu pencabutan izinusaha, biasanya dilakukan
terlebih penutupan tempat usaha sebagai suatu peringatan keras terhadap
pelaku pelanggaran lingkungan. Sebenarnyaketentuan mengenai penutupan tempat usaha
yang berkaitan dengan gangguanlingkungan hidup sejak dahulu sudah diatur dalam
Ordonansi Gangguan{Hinder
Ordonanntie),di dalam Pasal 14 ditentukan
tentang sanksiadministratif berupa penutupan tempat usaha dengan jalan menyegel mesin-mesin, perkakas dan
alat penolong yangdipergunakan untuk itu. Lengkapnya bunyi Pasal 14 itu adalah
;
"Jika ada tempat kerja
sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 yang didirikantanpa surat izin dari pejabat
yang berwenang memberikan izin itu, atauyang terus bekerja juga sesudah izinnya
dicabut menurut ketentuan dalamPasal 8 atau Pasal 12 ataupun tetap bekerja atau
dijalankan tanpa izin barusebagaimana tersebut dalam Pasal 9, atau berlawanan
dengan suatu peraturan sebagai tersebut dalam Pasal 2 atau 3, maka pejabat
yangtersebut pada awal pasal ini berwenang untuk mencegah hal itu,
menutuptempat kerja itu dan menyegel mesin-mesin, perkakas dan alat penolong yang dipergunakan untuk itu mengambil tindakan lain supaya
benda- benda itu tidak dipakai lagi"
D. Uang Paksa (Dwangsom)
Lembaga uang
paksa merupakan istilah terminologi dari kata dwangsomdalam rumpun
hukum Belanda atau kataastreinte pada
rumpun hukumPerancis. Eksistensi uang paksa lazim dapat dijumpai hampir di
setiapgugatan, yaitu dalam perkara perdata sering dituntut adanya uang paksa
oleh penggugat/para penggugat kepada tergugat/para tergugat. Lembaga uang paksa ini, apabila dikaji melalui hukum
positif, makaeksistensi lembaga uang paksa sebenarnya mempunyai dua
spesifikasi, yaitu:Pertama, jikalau ditinjau dari pembagian hukum menurut
isinya dapatdiklasifikasi ke dalam Hukum Publik dan Hukum Privat. Ketentuan
HukumPublik pada asasnya adalah peraturan hukum yang mengatur kepentingan umum(algemene belangen), sedangkan ketentuan Hukum Privat mengatur kepentingan
perorangan(bijzondere
belangen).Apabila ditinjau dari fungsinya
maka ruang lingkupHukum Privat dibagi menjadi Hukum Perdata Materiil dan Hukum
PerdataFormal (Hukum Acara Perdata). Bertitik tolak pada dimensi pembagian
hukum menurut fungsinya tersebut,maka tuntutan uang paksa mempunyai spesifikasi
yakni di satu pihak dwangsom
mempunyai wujud sebagai Hukum Perdata Materiil oleh karenatuntutan uang paksa
bersifat accesoir yakni
tergantung kepada eksistensituntutan/hukuman pokok. Di lain pihak bahwa
tuntutan uang paksamempunyai wujud sebagai Hukum Perdata Formal, karena suatu
tuntutan uang paksa diajukan oleh penggugat/para penggugat kepada
tergugat/para tergugatdalam surat gugatan, yang didaftarkan di pengadilan
negeri sesuai kompetensi perkara dan proses selanjutnya diperiksa, diadili
dan diputus oleh hakim,setelah upaya hukum yang dikehendaki oleh para pihak
telah ditempuh, maka putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum
tetap, lalu dieksekusimaka tahapan seperti itu merupakan manifestasi dari ruang
lingkup HukumAcara Perdata . Kedua, Jikalau ditinjau dari aspek dasar penerapan Hukum
Acara Perdata pada praktek peradilan sebagai hukum positif, maka HIR/RBG
tidak mengatur aspek hukum uang paksa. Akan tetapi aspek ini diatur dalam
Pasal 606a danPasal 606b Rv(Reglement
op de burgerlijke rechtsvordering coorde radenvan justitie op Java en of Java
en Madura, Stb. 1847-52 jo Stb. 1849-63
jo.Stb. 1938-360 jis 361,276) .Dalam
pandangan doktrin ketentuan dalam Rv sudah tidak berlaku lagi,karena telah
dihapuskannya Raad van Justitie dan Hoogerechtshof.Akantetapi ditinjau dari segi praktek peradilan,
maka ketentuan di dalam HIR/RBGtidak cukup untuk dapat menampung ketentuan
hukum yang tumbuh, hidup dan berkembang, sehinggaketentuan dalam Rv seperti
lembagadwangsom, voeging, interventie,vrijwaring dan lain-lain dalam praktek peradilan dewasa ini
eksistensiketentuan dalam Rv oleh Yudex Facti (Pengadilan Negeri dan
PengadilanTinggi) serta Mahkamah Agung RI tetap mempergunakan
danmempertahankannya
Selanjutnya melalui perkembangan praktek peradilan
perkara perdatasekarang ini memang tuntutan lembaga uang paksa kerap dijumpai
dalamhampir setiap bentuk surat gugatan, atau singkatnya tuntutan uang
paksamerupakan hal wajar dan semestinya diminta oleh pihak
penggugat/para penggugat kepada pihak tergugat/para tergugat sebagai upaya
tekanan agar nantinya pihak tergugat/para tergugat mau mematuhi, memenuhi
danmelaksanakan tuntutan/ hukuman pokok. Adapun penegakan hukum dalam
pengelolaan lingkungan hidup adanyauang paksa(dwangsom) baru ada
dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun1997 yaitu dalam Pasal 34 ayat (2), yang
sebenarnya sebagai pembebananakibat adanya perbuatan melanggar hukum yang
menimbulkan kerugian padaorang lain, sedangkan bunyi Pasal 34 ayat (2) adalah:
"selain pembebananuntuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1),hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hariketerlambatan
penyelesaian tertentu tersebut". Penjelasan pasal tersebutadalah:
"pembebanan pembayaran uang paksa atas setiap
keterlambatan pelaksanaann perintah pengadilan untuk melaksanakan tindakan
tertentuadalah demi pelestarian fungsi lingkungan hidup. Oleh karena itu, uang paksa(dwangsom)harus dibayar setiap hari pelanggaran berlangsung sampai batas
maksimum tertentu t iap harinya.
Uang paksa(dwangsom)dipungut oleh juru sita berdasarkanhukum acara
perdata. Perintah pembayaran harus terlebih dahulu dikeluarkanoleh pejabat
administrasi (pemerintahan). Akan tetapi, perintah ini dapatdilawan(verzet)kepada hakim perdata, adanya perlawanan
menunda pelaksanaan pembayaran secara otomatis.
\\
E. Pencabutan
Izin Usaha
Sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 27 Undang-undang
Nomor 23 Tahun1997 di atas, bahwa pelanggaran terhadap peraturan lingkungan
hidup dapatdijatuhi sansi pencabutan izin usaha dan/ atau kegiatan. Adapun
bobot pelanggaran peraturan lingkungan hidup dapat berbeda-beda mulai
dari pelanggaran syarat-syarat administrasi sampai pada pelanggaran
yangmenimbulkan korban masyarakat. Oleh karena itu, pencabutan izin usaha
dan/atau kegiatan dapat dilakukanterhadap pelanggaran yang dianggap mempunyai
bobot tertentu untuk dihentikan kegiatan usahanya, misalnya menimbulkan
korban, yaitu telah adawarga masyarakat yang terganggu kesehatannya bahkan
sampai meninggaldunia akibat pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Pencabutan
izin usaha dilakukan oleh pejabat yang berwenang untuk ituatau pejabat yang
memberi wewenang memberikan izin usaha. Kepala Daerahdapat mengajukan usul
untuk mencabut izin usaha kepada pejabat yang berwenang untuk itu, di
samping itu juga pihak yang berkepentingan dapatmengajukan permohonan kepada
pejabat yang berwenang untuk mencabut izinusaha karena merugikan
kepentingannya. Dengan demikian, pejabat yang berwenang dapat
mencabut izin usaha dan/atau kegiatan atas usul KepalaDaerah yang bersangkutan
atau atas permohonan pihak yang berkepentingan.
BAB II
PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN
MELALUI HUKUM PERDATA
A. Pengertian Umum
Perkataan hukum
perdata dalam arti yang luas meliputi semua hukum privatmateriil, yaitu segala
hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan Hukum
perdata adalah hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum akibat perbuatan
atau tindakan perdata antara seorangdengan seorang lainnya atau antara seorang
dengan beberapa orang (badanhukum). Setiap perbuatan atau tindakan perdata yang
mengakibatkan penderitaan atau kerugian pada pihak lain, maka
orang/beberapa orangtersebut harus dapat mengganti kerugian akibat perbuatannya
itu. Jadi, fokussanksi hukum perdata adalah tuntutan pembayaran ganti kerugian.
Aspek hukum perdata dalam pengelolaan lingkungan hidup merupakansalah satu
aspek penegakan hukum lingkungan. Sebagaimana diketahui bahwa perbuatan
pencemaran dan perusakan lingkungan merupakan perbuatan yangmengakibatkan rusak
dan tercemarnya lingkungan hidup. Pencemaran dan perusakan yang senantiasa
mengancam kelestarian lingkungan hidup perludicegah dan ditanggulangi, sehingga
perlu ada usaha untuk mencegah danmenanggulangi terjadinya pencemaran dan
perusakan yang senantiasamengancam lingkungan hidup.D engan terjadinya
pencemaran dan perusakan, maka akan ada korban pencemaran dan perusakan,
dalam arti sebagai pihak yang dirugikan, dan pihak yang dirugikan dapat
berupa orang perorangan, masyarakat atau negara.Aspek keperdataan dalam masalah
pencemaran dan perusakan lingkunganterdapat dalam Pasal 30 Undang-undang Nomor
23 Tahun 1997. Aspek-aspek keperdataan yang tercantum dalam pasal tersebut
yang berisikan tentangPenyelesaian sengketa lingkngan hidup dapat ditempuh
melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara
sukarela para pihak yang bersengketa. Ketentuan tersebut sebenarnya
dimaksudkan untuk melindungi hak keperdataan para pihak yang bersengketa.
B.
Penyelesaian SengketaLingkungan Hidup Di Luar Pengadilan
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar
pengadilan pengaturannya terdapat dalam Pasal 31, 32, 33 Undang-undang Nomor 23
Tahun 1997. Pasal31 menyatakan bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup di
luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai
bentuk dan besarnya ganti kerugian dan/atau mengenai tindakan tertentu
Penjelasan Pasal 31 menyatakan, bahwa penyelesaian sengketa lngkunganhidup
melalui perundingan di luar pengadilan dilakukan secara sukarela oleh para
pihak yang berkepentingan, yaitu para pihak yang mengalami kerugiandan
mengakibatkan kerugian, instansi pemerintah yang terkait dengan
subyek yang disengketakan, serta dapat melibatkan pihak yang
mempunyaikepedulian terhadap pengelolaan lingkungan hidup. Tindakan tertentu di
sini d imaksudkan sebagai upaya memulihkan fungsi lingkungan hidup denganmemperhatikan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat. Pasal 32 menyatakan, bahwa
dalam penyelesaian sengketa lingkunganhidup di luar pengadilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 dapatdigunakan jasa pihak ketiga, baik yang tidak
memiliki kewenanganmengambil keputusan, maupun yang memiliki kewenangan
mengambilkeputusan, untuk membantu penyelesaian sengketa lingkungan
hidup.Penjelasan Pasal 32 tersebut menyatakan, bahwa untuk
melancarkan jalannya perundingan di luar pengadilan para pihak yang berkepentingan
dapatmeminta jasa pihak ketiga netral.
C. Penyelesaian SengketaLingkungan
Hidup Melalui Pengadilan
Penyelesaian
sengketa lingkungan hidup melalui pengadilan, yang pengaturannya diatur
dalam Pasal 34 dan 35 Undang-undang Nomor 23 Tahun1997. Dalam konteks Pasal 34
dan 35 ini, dikenal dua dasar gugatan perdatasebagai bentuk pertanggungjawaban
perdata.Adapun yang dimaksud dengan tanggung jawab(liability)adalahtanggung jawab perdata dan bukan tanggung jawab pidana(criminal
liability).Tanggung jawab merupakan akibat
dari adanya kewajiban hukum(legal obligation)™.Tanggung jawab perdata dapat berupa tanggung
jawab yangditimbulkan hukum(legal liability)dan tanggung jawab kontraktual(contractual liability).Tanggung jawab yang timbul karena undang-undang
(hukum) sifatnya tertentu dan tidak
tercipta oleh keinginan bebas para pihak tetapi semata-mata karena
ditentukan oleh undang-undang.Sebaliknya tanggung jawab yang ditimbulkan oleh
perjanjian(contractual liability) bersifat tidak
tentu(infinite), para pihak dapat
membuat kontrak apapun, asal tidak bertentangan dengan undang-undang,
kepentingan umum,dan kesusilaan.
Menurut John A. Yogie QC, Liability adalah:
1. An obligation to do or
refrain from doing something.
2. A duty that eventually must be performed.
3. An obligation to pay money.
4.Responsibility for one's conduct, such as contractual
liability, tort liability
Komar Kantaatmadja, dalam disertasinya
menyatakan: dalam hal ini, harusdibedakan antara pengertian
responsibility,yaitu sebagai apa yang
secarasepihak harus dipertanggungjawabkan kepada suatu pihak, di segi lain
dikenal pengertian liability,yaitu kewajiban untuk mengganti kerugian atau memperbaiki kerusakan
yangterjadi. Pengertian pertanggungjawaban ini tidak selalu harus bersamaandengan
pengertian kewajiban memberi ganti rugi dan memperbaikikerusakan.Di dalam kepustakaan hukum terdapat beberapa
prinsip tanggung jawabdari yang klasik seperti yang dianut dalam Kitab
Undang-undang HukumPerdata Buku III Pasal 1365 - 1380 KUH Perdata, sampai pada
prinsip-prinsiphukum modern yang dipengaruhi oleh perkembangan hukum Anglo
Saxon danIlmu Pengetahuan dan Teknologi.Berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, pada umumnya
pertanggungjawaban didasarkan pada kesalahan. Artinya, pihak yang
bertanggung jawab baru mempunyai kewajiban untuk membayar ganti kerugian
setelah terbukti bahwa kerugian yang terjadi disebabkan oleh kesalahannya. Berdasarkan teori tersebut, maka dalam Pasal 34 dan 35
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
mengenal dua pertanggungjawaban perdata, yaitu (1) pertanggungjawaban
yangmensyaratkan adanya unsur kesalahan {fault based liability),dan
(2) pertanggungjawaban ketat (strict liability).Dua pertanggungjawaban tersebut merupakan
instrumen hukum perdatauntuk mendapatkan ganti kerugian dan biaya pemu-lihan
lingkungan hidupakibat pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang terdapat
dalamUndang-undang Nomor 23 Tahun 1997 sebagai suatu penegakan hukumlingkungan
di Indonesia.
D. Strict Liability Tidak
Identik Dengan Pembuktian Terbalik
Strict liability mengandung pengertian bahwa kegiatan atau
aktivitas yang mengandung bahaya atau risiko, apabila mengakibatkan kerugian
bagi oranglain tidak memerlukan suatu pembuktian apakah seseorang
yangmengakibatkan kerugian tersebut telah bertindak hati-hati. Penanggung
jawabkegiatan yang berbahaya tersebut hanya dapat dibebaskan
dari pertangggungjawaban apabila ia dapat membuktikan bahwa kerugian
yangtimbul adalah akibat dari kesalahan penggugat sendiri atau akibat bencana
alam. Faktor pemaaf inilahyang kemudian dikenal dengan defence dalam pertanggungjawaban {liability) seperti yang diatur dalam Pasal 35 ayat 2
Undang-undang Nomor 23 Tahun1997.Teori yang didapat dari kasus
Rylands v. Fletcher ini, maka strict liability bukan padanan dari konsep pembuktian
terbalik (shifting/reversing burden of proof atau
omkering van bewijslast). Dalam konsep strict
liability yang terjadi justru
pembebasan beban pembuktian unsur kesalahan. Apabila yangdibuktikan oleh
tergugat adalah faktor-faktor pemaaf (defences), maka haldemikian tidak dapat dikatakan sebagai
pembuktian terbalik karenasebagaimana layaknya suatu defence, pembuktian senantiasa terdapat pada
diritergugat, sehingga tidak ada perpindahan atau pembalikan(shifting) beban pembuktian. Subyek gugatan
adalah penanggung jawab usaha dan/atau.
kegiatan, dan unsur
kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh penggugat sebagaidasar pembayaran ganti
kerugian.Dalam stric
liability beban pembuktian tentang
hubungan sebab akibat pada umumnya terletak di pundak yang mendalilkan
adanya kerugian. Beban pembuktian pada penggugat ini sejalan dengan pasal
163 HIR dan 1865 KUH Perdata yang berbunyi:
"................................... barangsiapa
yang mengaku mempunyai hak atau yang mendasarkan padasuatu peristiwa untuk
menguatkan haknya itu atau untuk menyangkal hak orang lain, harus
membuktikan adanya hak atau peristiwa itu".Pembuktian terbalik biasanya
terdapat dalam hukum pidana, seperti halnyadalam tindak pidana korupsi, dalam
kasus tindak pidana korupsi biasanyaseseorang yang dituduh melakukan korupsi
harus membuktikan bahwa dirinyatidak melakukan korupsi, sehingga beban
pembuktiannya ada pada seseorangtersebut. Oleh karena itu, beban pembuktian
beralih pada diri seseorangtersebut yang memang dituduh melakukan korupsi. Hal
ini berbeda dengan strict liability,
yang memang penggugat dan tergugat tidak dibebani pembuktian, tetapi
penggugat hanya harus membuktikan adanya unsur kesalahan saja, dan gugatan
strict liability ini hanya ada pada hukum perdatadalam menyelesaikan kasus
secara keperdataan termasuk dalam kasuslingkungan.Apabila Pemerintah dan DPR
memiliki kemauan dan kehendak politik untuk meringankan beban masyarakat
yang menjadi korban yang padaumumnya secara sosial, politik dan ekonomi lemah,
maka di samping pengakuan strict liability secara perdata dalam undang-undang juga adanyaundang-undang untuk
mengatur secara tegas beban pembuktian terbalik (shifting burden of
proof) secara pidana, sehingga akan jelas
perbedaan antara keduanya.
E. Daluwarsa Pengajuan Gugatan
Pasal 36
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 menyatakan tentangdaluwarsa pengajuan
gugatan, yaitu:
(1)Tenggang
daluwarsa hak untuk mengajukan gugatan ke pengadilantenggang waktu sebagaimana
diatur dalam ketentuan Hukum AcaraPerdata yang berlaku, dan dihitung sejak saat
korban mengetahui adanya pencemarana dan/atau perusakan lingkungan hidup.
(2)Ketentuan
mengenai tenggang daluwarsa sebagaimana dimaksud padaayat (1) tidak berlaku terhadap
penemar dan/ atau perusakan lingkunanhidup yang diakibatkan oleh usaha dan/atau
kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun dan/atau
menghasilkan limbaha bahan berbahaya dan beracun.Ketentuan dalam ayat (2)
yang merupakan pengecualian dari ketentuanayat (1) adalah sangat penting
apabila dikaitkan dengan akibat pncemarandan/atau perusakan lingkungan hidup
yang timbul pada saat yang melampauitenggang waktu yang ditentukan oleh Hukum
Acara Perdata.Hal ini dimungkinkan dengan penggunaan Bahan Berbahaya dan
Beracundan/atau adanya limbah Bahan Berbahaya dan Beracun oleh usaha
dan/ataukegiatan yang bersangkutan. Oleh karena itu, gugatan dapat diajukan
kapansaja tanpa batasan tenggang waktu dan ini menguntungkan bagi
penderitaakibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan.
F. Gugatan Perwakilan
Kelompok (Class Actions)
Gugatan perwakilan
kelompok atau dikenal juga dengan class actions.Istilah class actions berasal
dari bahasa Inggris, yaitu gabungan dari kata class dan actions.Pengertian class adalah sekumpulan orang, benda, kualitas ataukegiatan yang mempunyai
kesamaan sifat atau ciri, sedangkan actions dalamdunia hukum berarti tuntutan yang diajukan ke pengadilan.Lembaga
class actions (gugatan perwakilan kelompok)
sebenarnya telahdikenal lama di banyak negara yang menganut sistem hukum
Anglo Saxon, seperti di Inggris yang
memperkenalkan class actions yang
didasarkan pada judge made law dalam
perkara-perkara yang berdasarkan equity yang diperiksa oleh Court of Chancery.Di Kanada yang mengenal prosedur classactions pertama
kali yang diatur dalam The Ontario Judicature Act, 1982,kemudian diperbaharui menjadi Supreme
of Ontario Rule of'Preclice (SCORP)yang
terdapat di propinsi Ontario.Di India, pengajuan prosedur class
actions mulai dikenal pada tahun
1908.Prosedur ini diatur dalam Rule of Order 1 of Civil Procedure 1908. Aturan inikemudian diubah dan disempurnakan
pada tahun 1976. Di Amerika Serikat,dalam bentuk The United State
of Federal Rules of Civil Procedure (FRCP)1938,
aturan ini direvisi pada tahun 1966. Di Australia memperkenalkan
classactions dengan Law Reform
Committee of South Australia dan juga Law Reform
Commission of Australia.
Di Indonesia lembaga ini baru diperkenalkan melalui Undang-undang Nomor 23
Tahun 1997, yang kemudian diikuti oleh Undang-undang lainnya,seperti
Undang-undang 9 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,Undang-undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan dipertegasdengan keluarnya Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentangAcara Gugatan Perwakilan Kelompok.
G. Class
Actions Tidak Identik Dengan Hak Gugat LembagaSwadaya Masyarakat (LSM)
(NGO'sStanding to Sue)
Hak gugat LSM
(organisasi lingkungan) atau
groudaction (istilah Belanda: group
actie yang berbeda dengan class
actions atau gugatan perwakilan), berkembang
di Amerika Serikat, Australia dan di Belanda. Keduanya dimasukkan dalam satu
istilah standing atau
standing to sue.Standing seringkah
juga diistilahkan sebagai ius standing atau
persona standi.Di Belanda khusus
mengenai akses organisasi/ kelompok untuk tampildi pengadilan sebagai penggugat
disebut juga dengan group actie (groupaction).Di Indonesia sendiri, dalam berbagai putusan
kasus-kasus lingkungan,kelompok atau organisasi ini disebut Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM)atau Organisasi Non-Pemerintah (Ornop).Hak gugat LSM mendapatkan legitimasinya yang
terdapat dalam Pasal 3 8Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 yang berbunyi:
(1)Dalam
rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan lingkunganhidup sesuai dengan
pola kemitraan, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan
untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkunganhidup;
(2)Hak
mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada
tuntutan untuk hak melakukan tindakan tertentu tanpa adanyatuntutan ganti
kerugian, kecuali biaya atau pengeluaran riil.
(3)Organisasi
lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan sebagaimanadimaksud pada ayat (1)
apabila memenuhi persyaratan:
a. berbentuk badan
hukum atau yayasan;
b.dalam
anggaran dasar organiasi lingkungan hidup yang bersangkutan menyebutkan
dengan tegas bahwa tujuandidirikannya organisasi tersebut adalah untuk
kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup;
c.telah
melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggarandasarnya.Penjelasan Pasal 38 ayat
(2) menyatakan bahwa gugatan yang diajukan oleh organisasi lingkungan hidup
tidak dapat berupa tuntutanmembayar ganti rugi, melainkan hanya terbatas
gugatan lain, yaitu:
a.memohon
kepada pengadilan agar seseorang diperintahkanuntuk melakukan tindakan hukum
tertentu yang berkaitandengan tujuan pelestarian fungsi lingkungan hidup;
b.menyatakan
seseorang telah melakukan perbuatan melanggar hukum karena mencemarkan
atau merusak lingkungan hidup;
c.memerintahkan
seseorang yang melakukan usaha dan/ataukegiatan untuk membuat atau memperbaiki
unit pengolah limbah;Adapun yang dimaksud dengan biaya atau pengeluaran
riiladalah biaya yang nyata-nyata dapat dibuktikan telah dikeluarkan
olehorganisasi lingkungan hidup.Penjelasan Pasal 38 ayat (3) menyatakan bahwa
tidak semua organisasilingkungan hidup dapat mengatasnamakan lingkungan hidup,
melainkan harusmemenuhi persyaratan tertentu. Dengan adanya persyaratan
sebagaimana dimaksud di atas, maka secara selektif keberadaan organisasi
lingkungan hidupdiakui memiliki untuk mengajukan gugatan atas nama lingkungan
hidup ke pengadilan, baik ke peradilan umum ataupun peradilan tata usaha
negara,tergantung kopetensi peradilan yang bersangkutan dalam memeriksa
danmengadili perkara yang dimaksud.Pasal 39 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997,
menyatakan, bahwa tatacara pengajuan gugatan dalam masalah lingkungan hidup
oleh orang,masyarakat dan/atau organisasi lingkungan hidup mengacu pada
HukumAcara Perdata yang berlaku.Ketentuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 38
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 adalah sangat menguntungkan bagi
lingkungan hidup,meskipun tidak ada manusia yang menderita, penanggung jawab
usahadan/atau kegiatan yang mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hiduptetap
dapat digugat karena lingkungan menderita. Gugatan tersebut diajukanoleh
organisasi lingkungan hidup atas nama lingkungan hidup, yang berartilingkungan
hidup menyandang hak untuk dilindungi.Konsep hak gugat LSM sangat jauh berbeda
denganclass actions,sehingga
keduanya tidak boleh dicampuradukan.Class actionssebagaimanadijelaskan panjang lebar di atas yang terdiri dari wakil
kelas{classrepresentative) dan
anggota kelas (class members),kedua
unsur tersebutmerupakan pihak korban atau yang mengalami kerugian secara nyata.
Dalamkonsep hak gugat LSM(NGO's Standing to Sue),maka LSM sebagai penggugat bukan pihak yang mengalami kerugian
secara nyata. LSM sebagai penggugat dalam konteks gugatan lingkungan
sebagai pihak yang mewakilikepentingan lingkungan hidup. Begitu juga konsep
wakil dalam gugatan LSMmerupakan konsep perwakilan dalam pengertian yang
relatif abstrak.Konsep dan penerapanclass actionslebih banyak berkembang di negara-negara yang menganut sistem hukum
Anglo Saxon, maka class actionsdiIndonesia merupakan konsep yang sangat baru dan
belum banyak dipahamioleh para penegak hukum negara maupun oleh praktisi hukum.
Pengertian class actionsoleh pakar
maupun praktisi hukum bahkan dicampuradukandengan konsep hak gugat LSM(NGO's
standing to sue). Class actionsdan
hak gugat LSM memiliki perbedaaan konseptual yaitu: 1.Class actions
yang terdiri dari unsur class
representative (berjumlah satu orang atau
lebih) dan class members(berjumlah
besar). Kedua unsur tersebut merupakan pihak- pihak korban atau mengalami
kerugian nyata, sedangkan dalam konsep hak gugat LSM. LSM sebagai
penggugat bukan pihak yang mengalami kerugiannyata. LSM sebagai penggugat dalam
konteks gugatan lingkungan sebagai pihak yang mewakili kepentinagan
perlindungan lingkungan hidup.Kepentingan lingkungan hidup perlu diperjuangkan
karena posisi lingkunganhidup sebagai ekosistem sangat penting, namun
lingkungan hidup tidak dapatmemperjuangkan kepentingannnya karena sifatnya yang
formatif, sehingga perlu adanya pihak-pihak yang memperjuangkannya. Berbeda
halnya dengan class actions, konsep
wakil dalam gugatanLSM merupakan konsep perwakilan dengan pengertian yang
relatif abstrak.2. Konsekwensi dari perbedaan pengertian dari konsep
perwakilan dalam classactions dan
hak gugat LSM (pengertian kongkrit dan abstrak), maka dalamhak gugat LSM
tuntutan ganti kerugian (right to damages) pada umumnya bukan merupakan ruang lingkup dari statutory
right mereka, sedangkangugatan
class actions pada umumnya justru
berujung pada tuntutan gantikerugian.Sebagai konsekwensi dari perbedaan
pengertian dalam konsep perwakilanantara class actions dan hak gugat LSM, maka tuntutan ganti kerugian
padaLSM pada umumnya bukan merupakan ruang lingkup dari hak yang dijaminoleh
undang-undang, sedangkan gugatan class actions adalah tuntutan gant ikerugian
1 komentar:
keren bisa jadiin bahan skripi nih
Posting Komentar