Minggu, 21 Juli 2013

PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN MELALUI HUKUM ADMINITRASI



BAB I
PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN
MELALUI HUKUM ADMINITRASI

A. Pengertian dan Tujuan Aspek Hukum Administrasi
                        Hukum administrasi merupakan instrumen yuridis bagi penguasa untuk secaraaktif terlibat dengan masyarakat, pada sisi lain hukum administrasi merupakanhukum yang memungkinkan anggota masyarakat mempengaruhi penguasa danmemberikan perlindungan terhadap penguasa. Dalam sistem hukum diindonesia penguasa itu terdiri dari penguasa di tingkat pusat dalam hal iniadalah pemerintah dan penguasa di tingkat daerah adalah pemerintah propinsidan pemerintah kabupaten/kota.. Dengan mengkaji lebih mendalam permasalahan hukum tentang pengelolaan lingkungan hidup di indonesia, maka bagian terbesar hukumlingkungan di indonesia merupakan hukum administrasi. Hal ini dapat dilihat bahwa hukum administrasi dapat berbentuk undang-undang, peraturanpemerintah, peraturan daerah tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Dengan demikian, aspek hukum administrasi akan tampak berkaitan dengan peran pemerintah (baik pemerintah maupun pemerintah propinsi dankabupaten/kota) dalam memberikan perizinan pendirian usaha dan/ataukegiatan, dan melakukan langkah penyelamatan lingkungan apabila ketentuanyang disyaratkan dalam perizinan itu dilanggar. Dengan demikian, tugas pemerintah adalah memberikan pelayanan kepadawarga masyarakatnya sebelum melakukan aktivitas kehidupan untuk mencapaimasyarakat yang adil dan makmur. Dalam kaitannya dengan pengelolaanlingkungan, maka pelayanan pemerintah pada masyarakat adalah sesuaidengan   tujuan pengelolaan lingkungan hidup secara berdaya guna dan berhasil guna.
                        Dengan peraturan perundang-undangan tersebut dapat diberikan landasandan kewenangan kepada pemerintah untuk menerbitkan keputusan pemerintahan yang berfungsi melindungi (prevensi) dan menegakkan peraturan perundang-undangan lingkungan. Keputusan tersebut berbentuk  perizinan untuk melakukan usaha dan/ atau kegiatan dengan mencantumkan persyaratan yang wajib ditaati penerima izin seperti yang berkenaan dengananalisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), baku mutu air buangan danlain-lain, sehingga perizinan merupakan suatu instrumen penegakan hukumlingkungan adminisitratif, kemudian apabila persyaratannya dilanggar makaakan dikenakan sanksi administratif. Dalam proses dan prosedur perizinan dicantumkan pula sanksi terhadap berbagai risiko yang kemungkinan akan timbul, yaitu mulai dari sanksi yang berupa paksaan administrasi, penutupan perusahaan, uang paksa dan pencabutan izin usaha. Hal ini sebagaimana ditentukan dalam pasal-pasal25,26,27, dan 34 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997. Adapun bunyi pasal-pasal tersebut adalah: Pasal 25
1. Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan pemerintahan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangiakibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan/atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-undang.
2. Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diserahkankepada Bupati/Walikotamadya/Kepala Daerah Tingkat II denganPeraturan Daerah Tingkat I
3. Pihak ketiga yang berkepentingan berhak mengajukan permohonankepada pejabat yang berwenang untuk melakukan paksaan pemerintahan,sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
4. Paksaan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),didahului dengan surat perintah dari pejabat yang berwenang.
5. Tindakan penyelamatan, penanggulangan dan/atau pemulihansebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diganti dengan pembayaransejumlah uang tertentu.Pasal 26
1. Tata cara penetapan beban biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25ayat (1) dan ayat (5) serta penagihannya ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan
2. Dalam hal peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud padaayat (1) belum dibentuk, pelaksanaannya menggunakan upaya hukummenurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.Pasal 27
1. Pelanggaran tertentu dapat dij atuhi sanksi berupa pencabutan izin usahadan/atau kegiatan.

2.Kepala Daerah dapat mengajukan usul untuk mencabut izin usahadan/atau kegiatan kepada pejabat yang berwenang.

3,Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang untuk mencabut izin usaha dan/atau kegiatankarena merugikan kepentingannya.Pasal 34

(2) Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimanadimaksud pada ayat (1), hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atassetiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut.

                        Beberapa pasal tersebut merupakan sanksi administrasi yang memangdalam hukum administrasi mengenal beberapa jenis sanksi administrasi.Sanksi administrasi tersebut mempunyai fungsi instrumental yaitu pencegahandan penanggulangan perbuatan terlarang dan terutama ditujukan terhadap perlindungan kepentingan lingkungan yang dijaga oleh ketentuan hukum yangdilanggar itu.Oleh karena itu, aspek hukum administrasi bertujuan agar perbuatan yangmelanggar hukum atau tidak memenuhi persyaratan yang diizinkan, agar  berhenti atau mengembalikan kepada keadaan semula, yaitu sebelumterjadinya pencemaran dan perusakan. Jadi, fungsi pengawasan administrasimempunyai peran yang penting dalam mekanisme penegakan hukumlingkungan administratif tersebut. Oleh karena itu, fokus sanksi administrasiadalah perbuatannya, berbeda halnya dengan sanksi hukum pidana fokusnyaadalah orangnya, agar ia berubah menjadi orang yang baik dan memperhatikanlingkungan serta hak orang lain untuk hidup yang layak di dalam lingkunganyang sehat.


B. Paksaan Pemerintahan(Administratie Dwang)
                    Paksaan pemerintahan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 25 tersebut di atasdikenal juga dengan paksaan administratif yaitu paksaan pemeliharaan hukumyang berupa larangan untuk meneruskan suatu usaha dan/atau kegiatan.Pemerintah berwenang melakukan paksaan pemerintahan atau paksaanadministratif terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran serta menanggulangi akibatyang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan dan/atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawabusaha dan/atau kegiatan. Pelanggar dapat diperingatkan agar berbuat sesuaidengan izin yang diberikan, dan apabila tidak menaati izin tersebut akandikenakan sanksi administratif lain yang lebih keras seperti uang paksa danyang paling keras adalah pencabutan izin usaha. Paksaan pemerintahdilakukan dengan didahului surat perintah oleh pejabat yang berwenang. Jadi, sanksi berupa paksaan administratif atau lebih dikenal sebagai paksaan pemeliharaan hukum, yaitu sanksi yang tidak melalui proses di pengadilan. Paksaan pemeliharaan hukum ini adalah tindakan pemerintahanyang bersifat polisionel. Misalnya tindakan polisi pamong praja (Satpol PP)Kabupaten/Kota untuk mengosongkan suatu bangunan, tindakan menertibkan bangunan liar, tindakan menggusur pedagang kaki lima di tempat yangdilarang untuk berdagang, dan lain-lain. Apabila suatu izin telah ditarik ataudicabut karena melakukan pelanggaran perizinan, karena tidak memenuhi persyaratan, maka akan dilakukan paksaan pemeliharaan hukum yaitu dapatdiadakan tindakan lanjutan berupa penyegelan dan sebagainya. Jadi, dengan jalan menyegel tempat usaha berarti juga melakukan paksaan administratif. Tujuan paksaan administratif atau pemerintahan ialah untuk memperbaikikeadaan yang mengakibatkan dilanggarnya suatu peraturan. Denganmempergunakan penegakan hukum lingkungan melalui hukum administratif,maka pemerintah harus memperhatikan apa yang disebut oleh hukum tatausaha negara sebagai asas-asas pemerintahan yang baik dalam era otonomidaerah saat ini.
C.Penutupan Tempat Usaha
                        Ketentuan tentang penutupan tempat usaha sebagaimana diatur dalam pasal- pasal tersebut di atas secara eksplisit tidak menyebutnya, tetapi menurutdoktrin salah satu sanksi administratif adalah penutupan tempat usahasebagaimana dikemukakan oleh Siti Sundari bahwa salah satu sanksiadministratif adalah penutupan perusahaan. Di samping itu juga, sebelum pemerintah melakukan sanksi yang lebih keras lagi yaitu pencabutan izinusaha, biasanya dilakukan terlebih penutupan tempat usaha sebagai suatu peringatan keras terhadap pelaku pelanggaran lingkungan. Sebenarnyaketentuan mengenai penutupan tempat usaha yang berkaitan dengan gangguanlingkungan hidup sejak dahulu sudah diatur dalam Ordonansi Gangguan{Hinder Ordonanntie),di dalam Pasal 14 ditentukan tentang sanksiadministratif berupa penutupan tempat usaha dengan jalan menyegel mesin-mesin, perkakas dan alat penolong yangdipergunakan untuk itu. Lengkapnya bunyi Pasal 14 itu adalah ;
"Jika ada tempat kerja sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 yang didirikantanpa surat izin dari pejabat yang berwenang memberikan izin itu, atauyang terus bekerja juga sesudah izinnya dicabut menurut ketentuan dalamPasal 8 atau Pasal 12 ataupun tetap bekerja atau dijalankan tanpa izin barusebagaimana tersebut dalam Pasal 9, atau berlawanan dengan suatu peraturan sebagai tersebut dalam Pasal 2 atau 3, maka pejabat yangtersebut pada awal pasal ini berwenang untuk mencegah hal itu, menutuptempat kerja itu dan menyegel mesin-mesin, perkakas dan alat penolong   yang dipergunakan untuk itu mengambil tindakan lain supaya benda- benda itu tidak dipakai lagi"



D. Uang Paksa (Dwangsom)
                        Lembaga uang paksa merupakan istilah terminologi dari kata dwangsomdalam rumpun hukum Belanda atau kataastreinte pada rumpun hukumPerancis. Eksistensi uang paksa lazim dapat dijumpai hampir di setiapgugatan, yaitu dalam perkara perdata sering dituntut adanya uang paksa oleh penggugat/para penggugat kepada tergugat/para tergugat. Lembaga uang paksa ini, apabila dikaji melalui hukum positif, makaeksistensi lembaga uang paksa sebenarnya mempunyai dua spesifikasi, yaitu:Pertama, jikalau ditinjau dari pembagian hukum menurut isinya dapatdiklasifikasi ke dalam Hukum Publik dan Hukum Privat. Ketentuan HukumPublik pada asasnya adalah peraturan hukum yang mengatur kepentingan umum(algemene belangen), sedangkan ketentuan Hukum Privat mengatur kepentingan perorangan(bijzondere belangen).Apabila ditinjau dari fungsinya maka ruang lingkupHukum Privat dibagi menjadi Hukum Perdata Materiil dan Hukum PerdataFormal (Hukum Acara Perdata). Bertitik tolak pada dimensi pembagian hukum menurut fungsinya tersebut,maka tuntutan uang paksa mempunyai spesifikasi yakni di satu pihak  dwangsom mempunyai wujud sebagai Hukum Perdata Materiil oleh karenatuntutan uang paksa bersifat accesoir yakni tergantung kepada eksistensituntutan/hukuman pokok. Di lain pihak bahwa tuntutan uang paksamempunyai wujud sebagai Hukum Perdata Formal, karena suatu tuntutan uang paksa diajukan oleh penggugat/para penggugat kepada tergugat/para tergugatdalam surat gugatan, yang didaftarkan di pengadilan negeri sesuai kompetensi perkara dan proses selanjutnya diperiksa, diadili dan diputus oleh hakim,setelah upaya hukum yang dikehendaki oleh para pihak telah ditempuh, maka putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap, lalu dieksekusimaka tahapan seperti itu merupakan manifestasi dari ruang lingkup HukumAcara Perdata . Kedua, Jikalau ditinjau dari aspek dasar penerapan Hukum Acara Perdata pada praktek peradilan sebagai hukum positif, maka HIR/RBG tidak mengatur aspek hukum uang paksa. Akan tetapi aspek ini diatur dalam Pasal 606a danPasal 606b Rv(Reglement op de burgerlijke rechtsvordering coorde radenvan justitie op Java en of Java en Madura, Stb. 1847-52 jo Stb. 1849-63 jo.Stb. 1938-360 jis 361,276) .Dalam pandangan doktrin ketentuan dalam Rv sudah tidak berlaku lagi,karena telah dihapuskannya Raad van Justitie dan Hoogerechtshof.Akantetapi ditinjau dari segi praktek peradilan, maka ketentuan di dalam HIR/RBGtidak cukup untuk dapat menampung ketentuan hukum yang tumbuh, hidup dan berkembang, sehinggaketentuan dalam Rv seperti lembagadwangsom, voeging, interventie,vrijwaring dan lain-lain dalam praktek peradilan dewasa ini eksistensiketentuan dalam Rv oleh Yudex Facti (Pengadilan Negeri dan PengadilanTinggi) serta Mahkamah Agung RI tetap mempergunakan danmempertahankannya
                                               
                                Selanjutnya melalui perkembangan praktek peradilan perkara perdatasekarang ini memang tuntutan lembaga uang paksa kerap dijumpai dalamhampir setiap bentuk surat gugatan, atau singkatnya tuntutan uang paksamerupakan hal wajar dan semestinya diminta oleh pihak penggugat/para penggugat kepada pihak tergugat/para tergugat sebagai upaya tekanan agar nantinya pihak tergugat/para tergugat mau mematuhi, memenuhi danmelaksanakan tuntutan/ hukuman pokok. Adapun penegakan hukum dalam pengelolaan lingkungan hidup adanyauang paksa(dwangsom) baru ada dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun1997 yaitu dalam Pasal 34 ayat (2), yang sebenarnya sebagai pembebananakibat adanya perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian padaorang lain, sedangkan bunyi Pasal 34 ayat (2) adalah: "selain pembebananuntuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1),hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hariketerlambatan penyelesaian tertentu tersebut". Penjelasan pasal tersebutadalah: "pembebanan pembayaran uang paksa atas setiap keterlambatan pelaksanaann perintah pengadilan untuk melaksanakan tindakan tertentuadalah demi pelestarian fungsi lingkungan hidup. Oleh karena itu, uang paksa(dwangsom)harus dibayar setiap hari pelanggaran berlangsung sampai batas maksimum tertentu t iap harinya. Uang paksa(dwangsom)dipungut oleh juru sita berdasarkanhukum acara perdata. Perintah pembayaran harus terlebih dahulu dikeluarkanoleh pejabat administrasi (pemerintahan). Akan tetapi, perintah ini dapatdilawan(verzet)kepada hakim perdata, adanya perlawanan menunda pelaksanaan pembayaran secara otomatis.
\\


E. Pencabutan Izin Usaha
                                Sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 27 Undang-undang Nomor 23 Tahun1997 di atas, bahwa pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup dapatdijatuhi sansi pencabutan izin usaha dan/ atau kegiatan. Adapun bobot pelanggaran peraturan lingkungan hidup dapat berbeda-beda mulai dari pelanggaran syarat-syarat administrasi sampai pada pelanggaran yangmenimbulkan korban masyarakat. Oleh karena itu, pencabutan izin usaha dan/atau kegiatan dapat dilakukanterhadap pelanggaran yang dianggap mempunyai bobot tertentu untuk dihentikan kegiatan usahanya, misalnya menimbulkan korban, yaitu telah adawarga masyarakat yang terganggu kesehatannya bahkan sampai meninggaldunia akibat pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Pencabutan izin usaha dilakukan oleh pejabat yang berwenang untuk ituatau pejabat yang memberi wewenang memberikan izin usaha. Kepala Daerahdapat mengajukan usul untuk mencabut izin usaha kepada pejabat yang berwenang untuk itu, di samping itu juga pihak yang berkepentingan dapatmengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang untuk mencabut izinusaha karena merugikan kepentingannya. Dengan demikian, pejabat yang berwenang dapat mencabut izin usaha dan/atau kegiatan atas usul KepalaDaerah yang bersangkutan atau atas permohonan pihak yang berkepentingan.








BAB II
PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN
MELALUI HUKUM PERDATA

A. Pengertian Umum
                                Perkataan hukum perdata dalam arti yang luas meliputi semua hukum privatmateriil, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum akibat perbuatan atau tindakan perdata antara seorangdengan seorang lainnya atau antara seorang dengan beberapa orang (badanhukum). Setiap perbuatan atau tindakan perdata yang mengakibatkan penderitaan atau kerugian pada pihak lain, maka orang/beberapa orangtersebut harus dapat mengganti kerugian akibat perbuatannya itu. Jadi, fokussanksi hukum perdata adalah tuntutan pembayaran ganti kerugian. Aspek hukum perdata dalam pengelolaan lingkungan hidup merupakansalah satu aspek penegakan hukum lingkungan. Sebagaimana diketahui bahwa perbuatan pencemaran dan perusakan lingkungan merupakan perbuatan yangmengakibatkan rusak dan tercemarnya lingkungan hidup. Pencemaran dan perusakan yang senantiasa mengancam kelestarian lingkungan hidup perludicegah dan ditanggulangi, sehingga perlu ada usaha untuk mencegah danmenanggulangi terjadinya pencemaran dan perusakan yang senantiasamengancam lingkungan hidup.D engan terjadinya pencemaran dan perusakan, maka akan ada korban pencemaran dan perusakan, dalam arti sebagai pihak yang dirugikan, dan pihak yang dirugikan dapat berupa orang perorangan, masyarakat atau negara.Aspek keperdataan dalam masalah pencemaran dan perusakan lingkunganterdapat dalam Pasal 30 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997. Aspek-aspek keperdataan yang tercantum dalam pasal tersebut yang berisikan tentangPenyelesaian sengketa lingkngan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa. Ketentuan tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk melindungi hak keperdataan para pihak yang bersengketa.

B. Penyelesaian SengketaLingkungan Hidup Di Luar Pengadilan
                                Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan pengaturannya terdapat dalam Pasal 31, 32, 33 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997. Pasal31 menyatakan bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar  pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian dan/atau mengenai tindakan tertentu Penjelasan Pasal 31 menyatakan, bahwa penyelesaian sengketa lngkunganhidup melalui perundingan di luar pengadilan dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang berkepentingan, yaitu para pihak yang mengalami kerugiandan mengakibatkan kerugian, instansi pemerintah yang terkait dengan subyek yang disengketakan, serta dapat melibatkan pihak yang mempunyaikepedulian terhadap pengelolaan lingkungan hidup. Tindakan tertentu di sini d imaksudkan sebagai upaya memulihkan fungsi lingkungan hidup denganmemperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat. Pasal 32 menyatakan, bahwa dalam penyelesaian sengketa lingkunganhidup di luar pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dapatdigunakan jasa pihak ketiga, baik yang tidak memiliki kewenanganmengambil keputusan, maupun yang memiliki kewenangan mengambilkeputusan, untuk membantu penyelesaian sengketa lingkungan hidup.Penjelasan Pasal 32 tersebut menyatakan, bahwa untuk melancarkan jalannya perundingan di luar pengadilan para pihak yang berkepentingan dapatmeminta jasa pihak ketiga netral.
C. Penyelesaian SengketaLingkungan Hidup Melalui Pengadilan
                                Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui pengadilan, yang pengaturannya diatur dalam Pasal 34 dan 35 Undang-undang Nomor 23 Tahun1997. Dalam konteks Pasal 34 dan 35 ini, dikenal dua dasar gugatan perdatasebagai bentuk pertanggungjawaban perdata.Adapun yang dimaksud dengan tanggung jawab(liability)adalahtanggung jawab perdata dan bukan tanggung jawab pidana(criminal liability).Tanggung jawab merupakan akibat dari adanya kewajiban hukum(legal obligation)™.Tanggung jawab perdata dapat berupa tanggung jawab yangditimbulkan hukum(legal liability)dan tanggung jawab kontraktual(contractual liability).Tanggung jawab yang timbul karena undang-undang (hukum) sifatnya tertentu dan tidak tercipta oleh keinginan bebas para pihak tetapi semata-mata karena ditentukan oleh undang-undang.Sebaliknya tanggung jawab yang ditimbulkan oleh perjanjian(contractual liability)  bersifat tidak tentu(infinite), para pihak dapat membuat kontrak apapun, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kepentingan umum,dan kesusilaan.
Menurut John A. Yogie QC, Liability adalah:
1. An obligation to do or refrain from doing something.
2. A duty that eventually must be performed.
3. An obligation to pay money.
4.Responsibility for one's conduct, such as contractual liability, tort liability
                   
                    Komar Kantaatmadja, dalam disertasinya menyatakan: dalam hal ini, harusdibedakan antara pengertian responsibility,yaitu sebagai apa yang secarasepihak harus dipertanggungjawabkan kepada suatu pihak, di segi lain dikenal pengertian liability,yaitu kewajiban untuk mengganti kerugian atau memperbaiki kerusakan yangterjadi. Pengertian pertanggungjawaban ini tidak selalu harus bersamaandengan pengertian kewajiban memberi ganti rugi dan memperbaikikerusakan.Di dalam kepustakaan hukum terdapat beberapa prinsip tanggung jawabdari yang klasik seperti yang dianut dalam Kitab Undang-undang HukumPerdata Buku III Pasal 1365 - 1380 KUH Perdata, sampai pada prinsip-prinsiphukum modern yang dipengaruhi oleh perkembangan hukum Anglo Saxon danIlmu Pengetahuan dan Teknologi.Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, pada umumnya pertanggungjawaban didasarkan pada kesalahan. Artinya, pihak yang bertanggung jawab baru mempunyai kewajiban untuk membayar ganti kerugian setelah terbukti bahwa kerugian yang terjadi disebabkan oleh kesalahannya. Berdasarkan teori tersebut, maka dalam Pasal 34 dan 35 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengenal dua pertanggungjawaban perdata, yaitu (1) pertanggungjawaban yangmensyaratkan adanya unsur kesalahan {fault based liability),dan (2) pertanggungjawaban ketat (strict liability).Dua pertanggungjawaban tersebut merupakan instrumen hukum perdatauntuk mendapatkan ganti kerugian dan biaya pemu-lihan lingkungan hidupakibat pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang terdapat dalamUndang-undang Nomor 23 Tahun 1997 sebagai suatu penegakan hukumlingkungan di Indonesia.
D. Strict Liability Tidak Identik Dengan Pembuktian Terbalik
                        Strict liability mengandung pengertian bahwa kegiatan atau aktivitas yang mengandung bahaya atau risiko, apabila mengakibatkan kerugian bagi oranglain tidak memerlukan suatu pembuktian apakah seseorang yangmengakibatkan kerugian tersebut telah bertindak hati-hati. Penanggung jawabkegiatan yang berbahaya tersebut hanya dapat dibebaskan dari pertangggungjawaban apabila ia dapat membuktikan bahwa kerugian yangtimbul adalah akibat dari kesalahan penggugat sendiri atau akibat bencana alam. Faktor pemaaf inilahyang kemudian dikenal dengan defence dalam pertanggungjawaban {liability) seperti yang diatur dalam Pasal 35 ayat 2 Undang-undang Nomor 23 Tahun1997.Teori yang didapat dari kasus  Rylands v. Fletcher  ini, maka  strict liability bukan padanan dari konsep pembuktian terbalik  (shifting/reversing burden of  proof  atau omkering van bewijslast). Dalam konsep strict liability yang terjadi justru pembebasan beban pembuktian unsur kesalahan. Apabila yangdibuktikan oleh tergugat adalah faktor-faktor   pemaaf (defences), maka haldemikian tidak dapat dikatakan sebagai pembuktian terbalik karenasebagaimana layaknya suatu defence, pembuktian senantiasa terdapat pada diritergugat, sehingga tidak ada perpindahan atau pembalikan(shifting) beban pembuktian. Subyek gugatan adalah penanggung jawab usaha dan/atau.
                          kegiatan, dan unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh penggugat sebagaidasar pembayaran ganti kerugian.Dalam stric liability beban pembuktian tentang hubungan sebab akibat pada umumnya terletak di pundak yang mendalilkan adanya kerugian. Beban pembuktian pada penggugat ini sejalan dengan pasal 163 HIR dan 1865 KUH Perdata yang berbunyi: "................................... barangsiapa yang mengaku mempunyai hak atau yang mendasarkan padasuatu peristiwa untuk menguatkan haknya itu atau untuk menyangkal hak orang lain, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu".Pembuktian terbalik biasanya terdapat dalam hukum pidana, seperti halnyadalam tindak pidana korupsi, dalam kasus tindak pidana korupsi biasanyaseseorang yang dituduh melakukan korupsi harus membuktikan bahwa dirinyatidak melakukan korupsi, sehingga beban pembuktiannya ada pada seseorangtersebut. Oleh karena itu, beban pembuktian beralih pada diri seseorangtersebut yang memang dituduh melakukan korupsi. Hal ini berbeda dengan strict liability, yang memang penggugat dan tergugat tidak dibebani pembuktian, tetapi penggugat hanya harus membuktikan adanya unsur kesalahan saja, dan gugatan strict liability ini hanya ada pada hukum perdatadalam menyelesaikan kasus secara keperdataan termasuk dalam kasuslingkungan.Apabila Pemerintah dan DPR memiliki kemauan dan kehendak politik untuk meringankan beban masyarakat yang menjadi korban yang padaumumnya secara sosial, politik dan ekonomi lemah, maka di samping pengakuan strict liability secara perdata dalam undang-undang juga adanyaundang-undang untuk mengatur secara tegas beban pembuktian terbalik (shifting burden of proof) secara pidana, sehingga akan jelas perbedaan antara keduanya.
E. Daluwarsa Pengajuan Gugatan
                        Pasal 36 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 menyatakan tentangdaluwarsa pengajuan gugatan, yaitu:
(1)Tenggang daluwarsa hak untuk mengajukan gugatan ke pengadilantenggang waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan Hukum AcaraPerdata yang berlaku, dan dihitung sejak saat korban mengetahui adanya pencemarana dan/atau perusakan lingkungan hidup.
(2)Ketentuan mengenai tenggang daluwarsa sebagaimana dimaksud padaayat (1) tidak berlaku terhadap penemar dan/ atau perusakan lingkunanhidup yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun dan/atau menghasilkan limbaha bahan berbahaya dan beracun.Ketentuan dalam ayat (2) yang merupakan pengecualian dari ketentuanayat (1) adalah sangat penting apabila dikaitkan dengan akibat pncemarandan/atau perusakan lingkungan hidup yang timbul pada saat yang melampauitenggang waktu yang ditentukan oleh Hukum Acara Perdata.Hal ini dimungkinkan dengan penggunaan Bahan Berbahaya dan Beracundan/atau adanya limbah Bahan Berbahaya dan Beracun oleh usaha dan/ataukegiatan yang bersangkutan. Oleh karena itu, gugatan dapat diajukan kapansaja tanpa batasan tenggang waktu dan ini menguntungkan bagi penderitaakibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan.

F. Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Actions)
                          Gugatan perwakilan kelompok atau dikenal juga dengan class actions.Istilah class actions   berasal dari bahasa Inggris, yaitu gabungan dari kata class dan actions.Pengertian class adalah sekumpulan orang, benda, kualitas ataukegiatan yang mempunyai kesamaan sifat atau ciri, sedangkan actions dalamdunia hukum berarti tuntutan yang diajukan ke pengadilan.Lembaga class actions (gugatan perwakilan kelompok) sebenarnya telahdikenal lama di banyak negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon, seperti di Inggris yang memperkenalkan class actions yang didasarkan pada  judge made law  dalam perkara-perkara yang berdasarkan equity yang diperiksa oleh Court of Chancery.Di Kanada yang mengenal prosedur  classactions   pertama kali yang diatur dalam The Ontario Judicature Act, 1982,kemudian diperbaharui menjadi Supreme of Ontario Rule of'Preclice (SCORP)yang terdapat di propinsi Ontario.Di India, pengajuan prosedur  class actions mulai dikenal pada tahun 1908.Prosedur ini diatur dalam Rule of Order  1 of Civil Procedure 1908. Aturan inikemudian diubah dan disempurnakan pada tahun 1976. Di Amerika Serikat,dalam bentuk The United State of Federal Rules of Civil Procedure (FRCP)1938, aturan ini direvisi pada tahun 1966. Di Australia memperkenalkan classactions dengan Law Reform Committee of South Australia dan juga Law Reform Commission of Australia. Di Indonesia lembaga ini baru diperkenalkan melalui Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997, yang kemudian diikuti oleh Undang-undang lainnya,seperti Undang-undang 9 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan dipertegasdengan keluarnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentangAcara Gugatan Perwakilan Kelompok.
G. Class Actions Tidak Identik Dengan Hak Gugat LembagaSwadaya Masyarakat (LSM) (NGO'sStanding to Sue)

                          Hak gugat LSM (organisasi lingkungan) atau groudaction (istilah Belanda: group actie yang berbeda dengan class actions atau gugatan perwakilan), berkembang di Amerika Serikat, Australia dan di Belanda. Keduanya dimasukkan dalam satu istilah standing atau standing to sue.Standing  seringkah juga diistilahkan sebagai ius standing atau  persona standi.Di Belanda khusus mengenai akses organisasi/ kelompok untuk tampildi pengadilan sebagai penggugat disebut juga dengan group actie (groupaction).Di Indonesia sendiri, dalam berbagai putusan kasus-kasus lingkungan,kelompok atau organisasi ini disebut Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)atau Organisasi Non-Pemerintah (Ornop).Hak gugat LSM mendapatkan legitimasinya yang terdapat dalam Pasal 3 8Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 yang berbunyi:
 (1)Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan lingkunganhidup sesuai dengan pola kemitraan, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkunganhidup;
(2)Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada tuntutan untuk hak melakukan tindakan tertentu tanpa adanyatuntutan ganti kerugian, kecuali biaya atau pengeluaran riil.
(3)Organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan sebagaimanadimaksud pada ayat (1) apabila memenuhi persyaratan:
a. berbentuk badan hukum atau yayasan;
b.dalam anggaran dasar organiasi lingkungan hidup yang bersangkutan menyebutkan dengan tegas bahwa tujuandidirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup;
c.telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggarandasarnya.Penjelasan Pasal 38 ayat (2) menyatakan bahwa gugatan yang diajukan oleh organisasi lingkungan hidup tidak dapat berupa tuntutanmembayar ganti rugi, melainkan hanya terbatas gugatan lain, yaitu:
 
a.memohon kepada pengadilan agar seseorang diperintahkanuntuk melakukan tindakan hukum tertentu yang berkaitandengan tujuan pelestarian fungsi lingkungan hidup;
b.menyatakan seseorang telah melakukan perbuatan melanggar hukum karena mencemarkan atau merusak lingkungan hidup;
c.memerintahkan seseorang yang melakukan usaha dan/ataukegiatan untuk membuat atau memperbaiki unit pengolah limbah;Adapun yang dimaksud dengan biaya atau pengeluaran riiladalah biaya yang nyata-nyata dapat dibuktikan telah dikeluarkan olehorganisasi lingkungan hidup.Penjelasan Pasal 38 ayat (3) menyatakan bahwa tidak semua organisasilingkungan hidup dapat mengatasnamakan lingkungan hidup, melainkan harusmemenuhi persyaratan tertentu. Dengan adanya persyaratan sebagaimana dimaksud di atas, maka secara selektif keberadaan organisasi lingkungan hidupdiakui memiliki untuk mengajukan gugatan atas nama lingkungan hidup ke pengadilan, baik ke peradilan umum ataupun peradilan tata usaha negara,tergantung kopetensi peradilan yang bersangkutan dalam memeriksa danmengadili perkara yang dimaksud.Pasal 39 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997, menyatakan, bahwa tatacara pengajuan gugatan dalam masalah lingkungan hidup oleh orang,masyarakat dan/atau organisasi lingkungan hidup mengacu pada HukumAcara Perdata yang berlaku.Ketentuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 adalah sangat menguntungkan bagi lingkungan hidup,meskipun tidak ada manusia yang menderita, penanggung jawab usahadan/atau kegiatan yang mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hiduptetap dapat digugat karena lingkungan menderita. Gugatan tersebut diajukanoleh organisasi lingkungan hidup atas nama lingkungan hidup, yang berartilingkungan hidup menyandang hak untuk dilindungi.Konsep hak gugat LSM sangat jauh berbeda denganclass actions,sehingga keduanya tidak boleh dicampuradukan.Class actionssebagaimanadijelaskan panjang lebar di atas yang terdiri dari wakil kelas{classrepresentative) dan anggota kelas (class members),kedua unsur tersebutmerupakan pihak korban atau yang mengalami kerugian secara nyata. Dalamkonsep hak gugat LSM(NGO's Standing to Sue),maka LSM sebagai penggugat bukan pihak yang mengalami kerugian secara nyata. LSM sebagai penggugat dalam konteks gugatan lingkungan sebagai pihak yang mewakilikepentingan lingkungan hidup. Begitu juga konsep wakil dalam gugatan LSMmerupakan konsep perwakilan dalam pengertian yang relatif abstrak.Konsep dan penerapanclass actionslebih banyak berkembang di negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon, maka class actionsdiIndonesia merupakan konsep yang sangat baru dan belum banyak dipahamioleh para penegak hukum negara maupun oleh praktisi hukum. Pengertian class actionsoleh pakar maupun praktisi hukum bahkan dicampuradukandengan konsep hak gugat LSM(NGO's standing to sue). Class actionsdan hak gugat LSM memiliki perbedaaan konseptual yaitu: 1.Class actions yang terdiri dari unsur class representative (berjumlah satu orang atau lebih) dan class members(berjumlah besar). Kedua unsur tersebut merupakan pihak- pihak korban atau mengalami kerugian nyata, sedangkan dalam konsep hak gugat LSM. LSM sebagai penggugat bukan pihak yang mengalami kerugiannyata. LSM sebagai penggugat dalam konteks gugatan lingkungan sebagai pihak yang mewakili kepentinagan perlindungan lingkungan hidup.Kepentingan lingkungan hidup perlu diperjuangkan karena posisi lingkunganhidup sebagai ekosistem sangat penting, namun lingkungan hidup tidak dapatmemperjuangkan kepentingannnya karena sifatnya yang formatif, sehingga perlu adanya pihak-pihak yang memperjuangkannya. Berbeda halnya dengan class actions, konsep wakil dalam gugatanLSM merupakan konsep perwakilan dengan pengertian yang relatif abstrak.2. Konsekwensi dari perbedaan pengertian dari konsep perwakilan dalam classactions dan hak gugat LSM (pengertian kongkrit dan abstrak), maka dalamhak gugat LSM tuntutan ganti kerugian (right to damages)  pada umumnya bukan merupakan ruang lingkup dari statutory right  mereka, sedangkangugatan class actions  pada umumnya justru berujung pada tuntutan gantikerugian.Sebagai konsekwensi dari perbedaan pengertian dalam konsep perwakilanantara class actions dan hak gugat LSM, maka tuntutan ganti kerugian padaLSM pada umumnya bukan merupakan ruang lingkup dari hak yang dijaminoleh undang-undang, sedangkan gugatan class actions adalah tuntutan gant ikerugian
























1 komentar:

Unknown mengatakan...

keren bisa jadiin bahan skripi nih

Posting Komentar