Asas-Asas Hukum Acara Perdata
Berikut ini adalah asas-asas Hukum Acara Perdata, yaitu:
1. Hakim bersifat menunggu
Asas
dari pada hukum acara pada umumnya, termasuk hukum acara perdata, ialah
bahwa pelaksanaannya, yaitu inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak
diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan.
Jadi,
tuntutan hak yang mengajukan adalah pihak yang berkepentingan, sedang
hakim bersikap menunggu datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya : iudex ne procedat ex officio (lihat
pasal 118 HIR, 142 Rbg). Hanya yang menyelenggarakan proses adalah
negara. Akan tetapi, sekali perkara diajukan kepadnya, hakim tidak boleh
menolak untuk memeriksa dan mengadilinya, sekalipun dengan dalih bahwa
hukum tidak atau kurang jelas (pasal 16 ayat (1) UU no. 4 tahun 2004).
Larangan untuk menolak memeriksa perkara disebabkan anggapan bahwa hakim
tahu akn hukumnya (ius curia novit).
2. Hakim pasif
Hakim
di dalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dalam arti kata bahwa
ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk
diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan
bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan
berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya
peradilan (pasal 5 ayat (2) UU no. 4 tahun 2004).
Hakim
harus aktif memimpin sidang, melancarkan jalannya persidangan, membantu
kedua belah pihak dalam mencari kebenaran, tetapi dalam memeriksa
perkara perdata hakim harus bersikap tut wuri. Hakim terikat pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak (secundum allegata iudicare). Para
pihak dapat secara bebas mengakhiri sendiri sengketa yang telah
diajukannya ke muka pengadilan, sedang hakim tidak dapat
mengahalang-halanginya. Hal ini dapat berupa perdamaian atau pencabutan
gugatan (pasal 130 HIR, 154 Rbg).
Hakim
wajib mengadili seluruh gugatan dan dilarang menjatuhkan putusan atas
perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari pada yang
dituntut (pasal 178 ayat 2 dan 3 HIR, 189 atar 2 dan 3 Rbg). Apakah yang
bersangkutan akan mengajukan banding atau tidak itupun bukan
kepentingan dari pada hakim (pasal 6 UU 20/1947, 199 Rbg). Hanya
peristiwa yang disengketakan sajalah yang harus dibuktikan. Hakim
terikat pada peristiwa yang menjadi sengketa yang diajukan oleh para
pihak. Para pihaklah yang diwajibkan untuk membuktikan dan bukan hakim.
Azas ini disebut Verhandlungsmaxime.
3. Persidangan bersifat terbuka
Sidang
pemeriksaan pengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk umum, yang
berarti bahwa setiap orang dibolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan
pengadilan. Asas ini kita jumpai dalam pasal 19 ayat (1) dan 20 UU no. 4
tahun 2004.
Apabila
putusan diucapkan dalam sidang yang tidak dinyatakan terbuka untuk umum
berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum serta
mengakibatkan batalnya putusan itu menurut hukum. Kecuali apabila
ditentukan lain oleh undang-undang atau apabila berdasarkan
alasan-alasan yang penting yang dimuat di dalam berita acara yang
diperintahkan oleh hakim, maka persidangan dilakukan dengan pintu
tertutup (pasal 19 ayat (1) UU no. 4 tahun 2004).
Persidangan bersifat terbuka ini tujuannya adalah:
a. Agar para pihak atau masyarakat dapat mengetahui apakah putusan tersebut adil atau tidak
b. Pengadilan harus bisa mempertanggungjawabkan putusannya pada pengadilan di atasnya
4. Mendengar kedua belah pihak
Di
dalam hukum acara perdata kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama,
tidak memihak dan didengar bersama-sama. Bahwa pengadilan mengadili
menurut hukum dengan tidak membedakan orang, seperti yang dimuat dalam
pasal 5 ayat (1) UU no. 4 tahun 2004, mengandung arti bahwa di dalam
hukum acara perdata yang berperkara harus sama-sama diperhatikan, berhak
atas perlakuan yang sama dan adil serta masing-masing harus diberi
kesempatan untuk memberi pendapatnya. Asas bahwa kedua belah pihak harus
didengar lebih dikenal dengan asas “audi et alteram partem” atau “Eines Mannes Rede ist keines Mannes Rede, man soll sie horen alle beide.”hal
ini berarti bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu
pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi
kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya. Hal itu berarti juga bahwa
pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh
kedua belah pihak (pasal 132a, 121 ayat 2 HIR, 145 ayat 2, 157 Rbg, 47
Rv)
5. Putusan harus disertai alasan-alasan
Semua
putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan
dasar untuk mengadili (pasal 25 UU no. 4 tahun 2004, 184 ayat (1), 319
HIR, 195, 618 Rbg). Alasan-alasan atau argumentasi itu dimaksudkan
sebagai pertanggungjawaban hakim atas putusannya terhadap
masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum,
sehingga mempunyai nilai obyektif. Karena adanya alasan-alasan itulah
maka putusan mempunyai wibawa dan bukan karena hakim tertentu yang
menjatuhkannya.
6. Beracara dikenakan biaya
Untuk
berperkara pada asasnya dikenakan biaya (pasal 3 ayat (2) UU no. 4
tahun 2004, 121 ayat (4), 182, 183 HIR, 145 ayat (4), 192-194 Rbg).
Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk panggilan,
pemberitahuan para pihak serta biaya materi. Di samping itu apabila
diminta bantuan seorang pengacara, maka harus pula dikeluarkan biaya.
Bagi
mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan
perkara secara cuma-cuma (pro deo) dengan mendapatkan izin untuk
dibebaskan dari pembayaran biaya perkara, dengan mengajukan surat
keterangan tidak mampu yang dibuat oleh kepala polisi (pasal 237 HIR,
273 Rbg). Namun dalam prakteknya surat keterangan ini cukup dibuat oleh
camat yang membawahi daerah tempat yang berkepentingan tinggal. Pemohon
perkara secara pro deo akan ditolak oleh pengadilan apabila penggugat
ternyata bukan orang yang tidak mampu.
7. Tidak ada keharusan mewakilkan
HIR
tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain,
sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung terhadap
para pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi para pihak dapat
dibantu atau diwakili oleh kuasanya kalau dikehendakinya (pasal 123 HIR,
147 Rbg). Dengan demikian hakim tetap wajib memeriksa sengketa yang
diajukan kepadanya, meskipun para pihak tidak mewakilkan kepada seorang
kuasa.
0 komentar:
Posting Komentar